Mengapa Keraton Solo dan Yogya Dipisah? Ini Sejarahnya
Ternyata ada sejarah di balik alasan mengapa Keraton Solo dan Yogya dipisah. Mengingat, pada zaman dahulu, Indonesia memiliki banyak kerajaan Islam dengan keraton sebagai istananya.
Beberapa keraton yang paling dikenal di masyarakat Indonesia adalah Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Keduanya sama-sama berada di Jawa Tengah.
Keraton Solo merupakan istana pemerintahan dari Kesultanan Surakarta, sedangkan Keraton Yogyakarta merupakan istana pemerintahan dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam sejarahnya, kedua kesultanan tersebut sejatinya merupakan satu bagian dalam satu kerajaan, yakni Kerajaan Mataram Islam. Namun, karena adanya konflik internal terjadi membuat Mataram Islam terpecah menjadi dua.
Melansir dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, konflik yang terjadi di dalam internal Kesultanan Mataram Islam tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Jembatan Gaspool Desa Sukamulya Oase Estetika di Ciamis Hasil Kreasi Komunitas Pengusaha Lokal
Penyebab konflik tersebut adalah akibat dari pengangkatan Pangeran Probosuyoso selaku anak kedua Amangkurat IV yang bergelar Pakubuwana II menjadi raja baru. Namun Raden Mas Said yang merupakan anak dari putra sulung Amangkurat IV kemudian meminta haknya sebagai pewaris tahta.
Selain itu, keputusan Pakubuwano II yang berencana memindahkan ibukota dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745 membuat konflik semakin memanas. Ditambah lagi dengan Raden Mas Said yang bekerja sama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut tahta dari Pakubuwono II.
Setelah Pakubuwono II wafat, Pangeran Mangkubumi kemudian mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram. Namun Pangeran Mangkubumi tidak diakui dan justru VOC mengangkat putra Pakubuwana II, yakni Raden Mas Soerjadi menjadi raja baru.
Melihat hal tersebut kemudian Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan juga Pakubuwana III.
Guna mengatasi serangan tersebut, VOC kemudian melakukan siasat untuk mengadu domba Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang membuat keduanya saling berselisih.
Perselisihan tersebut kemudian dimanfaatkan VOC untuk melakukan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan akan memberi Mangkubumi setengah wilayah Mataram yang dikuasai Pakubuwana III.
Akhirnya, pada 1754 VOC mengundang Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi untuk berunding membahas pembagian wilayah, gelar, dan kerjasama VOC dengan kesultanan nantinya. Perundingan ini kemudian mencapai kesepakatan pada 13 Februari 1755 dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti.
Isi dari perjanjian Giyanti tersebut di antaranya adalah membagi wilayah Mataram Islam menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta .
Melansir dari kesbagpol.kulonprogokab.go.id, Kasunanan Surakarta menguasai wilayah Mataram Islam bagian timur Sungai Opak. Sebaliknya, Kasultanan Ngayogyakarta menguasai wilayah barat Sungai Opak.
Dengan perjanjian tersebut, maka Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan dirinya sebagai raja di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Sejak saat itu, maka sejarah Kerajaan Mataram Islam telah resmi berakhir dengan terbaginya kerajaan tersebut menjadi dua dengan istana pemerintahan berupa keraton yang berdiri sendiri-sendiri.
Namun sayang, nasib Keraton Solo tidak seperti Keraton Yogyakarta yang menyandang gelar sebagai daerah istimewa. Kota Surakarta atau Solo menjadi kota madya yang dipimpin oleh walikota.
Itulah sejarah di balik alasan mengapa Keraton Solo dan Jogja dipisah. Semoga informasi tersebut bermanfaat.