Miris! 3 Siswa SD Keluarga Miskin di Pandeglang Dipulangkan Paksa, Tak Bisa Bayar SPP Rp42 Juta

Miris! 3 Siswa SD Keluarga Miskin di Pandeglang Dipulangkan Paksa, Tak Bisa Bayar SPP Rp42 Juta

Terkini | pandeglang.inews.id | Jum'at, 25 Oktober 2024 - 12:30
share

PANDEGLANG, iNewsPandeglang.id Kejadian memilukan terjadi di Pandeglang, Banten, ketika tiga siswa SD dari keluarga miskin terpaksa dipulangkan oleh pihak sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membayar tunggakan SPP yang mencapai Rp42 juta. Insiden ini menggugah rasa empati, terutama karena ketiga siswa, Faeza (11), Farraz (10), dan Fathan (7), dikenal sebagai anak-anak berprestasi yang menunjukkan semangat tinggi dalam belajar. Keputusan untuk memulangkan mereka, yang diambil saat jam pelajaran masih berlangsung, menciptakan duka mendalam.

Ketiga siswa tersebut, yang tinggal di Menes, Pandeglang, kembali ke rumah dengan wajah lesu dan hati yang hancur setelah dijemput oleh mobil sekolah. Tanpa melakukan kesalahan, mereka dipaksa meninggalkan sekolah hanya karena kondisi ekonomi keluarga yang sangat memprihatinkan.

Ironisnya, pihak sekolah yang seharusnya menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, justru tidak memberikan kesempatan kepada mereka, meskipun prestasi akademis mereka telah diakui dengan banyak sertifikat penghargaan.

Faeza, yang kini duduk di kelas 6 SD, mengungkapkan kebingungan dan ketakutannya. “Kepala yayasan memarahi saya di depan teman-teman dan meminta saya untuk tidak belajar di sini karena tunggakan SPP yang sudah terlalu banyak,” ujarnya dengan suara kecil, menundukkan kepala saat ditemui pada Kamis (24/10/2024).

Rasa malu dan tertekan menghimpit dirinya, seiring dengan ketidakpastian masa depan yang kini membayangi.

Ibunda Faeza, Defi Fitriani, tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan nasib anak-anaknya. “Mereka adalah anak-anak berprestasi, terbukti dari banyaknya sertifikat penghargaan yang telah mereka terima. Namun kini, pendidikan mereka terancam terhenti hanya karena kami tidak mampu membayar uang sekolah,” suaranya bergetar penuh kepedihan.

 

Defi juga mengungkapkan bahwa selain masalah SPP, keluarga mereka tengah menghadapi kesulitan lain, termasuk menunggak kontrakan selama tiga bulan.

Ayah Faeza, Muhammad Fahat, seorang buruh harian, menyampaikan keprihatinan mendalam mengenai kondisi pendidikan di Kabupaten Pandeglang. “Anak-anak saya tidak bisa sekolah hanya karena kami miskin. Uang SPP sebesar Rp42 juta jelas di luar kemampuan kami. Bagaimana kami bisa membayar, sementara untuk makan sehari-hari saja sudah sulit?," ujarnya dengan nada penuh kekecewaan, mencoba menahan amarah dan rasa sakit yang mendalam di dalam hatinya.

Kejadian ini memicu berbagai pertanyaan mengenai kebijakan sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, tindakan memulangkan siswa karena ketidakmampuan ekonomi sangat tidak pantas. Terlebih lagi, sekolah tersebut telah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah, yang seharusnya digunakan untuk membantu siswa kurang mampu.

Kasus ini menjadi perhatian serius bagi Menteri Pendidikan, serta Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang memiliki program unggulan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Mereka diharapkan dapat memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terulang, khususnya di sekolah-sekolah swasta yang sering mengambil langkah ekstrem dengan mengusir siswa hanya karena alasan ekonomi.

 

Sebelumnya, permasalahan ini juga mendapat tanggapan dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan, serta Perlindungan Anak. Dinas tersebut mengingatkan bahwa setiap kebijakan harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dengan hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dinas juga menekankan pentingnya menyelesaikan masalah dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) melalui musyawarah untuk menemukan solusi terbaik.

Kepala Dinas, Drs. Ahmad Saepudin, M.Si, menegaskan, “Kami mengingatkan bahwa kebijakan apapun yang diambil harus selalu memperhatikan hak anak. Anak-anak tidak seharusnya menjadi korban dari kebijakan yang melanggar hak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Kami berharap agar pihak sekolah dapat melakukan musyawarah dan mencari solusi yang terbaik demi kepentingan pendidikan anak-anak,” ungkapnya dalam surat pernyataan yang ditujukan kepada sekolah pada 3 April 2024.

Dia juga menambahkan bahwa jika musyawarah tidak membuahkan hasil, sebaiknya melakukan mediasi dengan pihak ketiga yang netral. Kondisi ini menuntut perhatian serius dari semua pihak agar hak pendidikan anak dapat terpenuhi tanpa terhalang oleh masalah ekonomi. Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua anak, bukan justru menjadi ajang diskriminasi dan kemiskinan.

Topik Menarik