Menikmati Pesona Tembagapura: Antara Hujan, Tambang, dan Kebhinekaan

Menikmati Pesona Tembagapura: Antara Hujan, Tambang, dan Kebhinekaan

Terkini | inews | Rabu, 28 Agustus 2024 - 05:30
share

TEMBAGAPURA, iNews.id - Jika Yogyakarta terbuat dari rindu, sudah sepantasnya Tembagapura tercipta dari hujan dan syahdu. Di kota terpencil ini, jangan berharap dapat lama-lama menatap awan biru. Sebab, langit jernih bisa cepat berselimut mendung kelabu, mengantarkan lirih gerimis dan hawa dingin menusuk kalbu.

Terlalu puitis? Begitulah faktanya. Tembagapura, distrik (kecamatan) di Kabupaten Mimika, Papua Tengah memang nyaris tak pernah lepas dari hujan. Berada di lembah Mulkini lereng Gunung Zaagkam pada ketinggian sekitar 2.000 meter dari permukaan laut (mdpl), kota satelit ini selalu berhias cuaca dingin dan cucuran air langit sepanjang tahun.

Nuansa itu pula yang dirasakan iNews.id ketika menikmati Tembagapura selama lima hari pada 15-18 Agustus lalu. Umumnya, pagi suasana cerah. Sinar matahari leluasa menyiram hamparan kota di atas awan yang dibangun PT Freeport Indonesia (PTFI) ini, menjadikan panorama alam terlihat sangat mengagumkan.

Dari kompleks senior guest house PTFI, hutan lebat kehijauan mewarnai tebing-tebing gunung. Deret-deret permukiman karyawan dan perkantoran dengan atap merah bata atau kuning terang, juga lalu-lalang bus kota unik, terekam lensa mata dengan jelas.

Namun menjelang siang, semua pemandangan itu bisa sirna. Langit mulai buram. Semakin lama kian gelap kemudian disusul rintik hujan. Hutan hijau mulai tertutup kabut. Begitu pula area kota tampak samar.

Tak pelak nuansa syahdu menguar. Antara hujan, keheningan, dan angin nan atis. Cuaca Tembagapura seperti terpola. Jika pagi atau siang cerah, lazimnya sore atau malam yang akan berhias gemricik air. Bisa juga sebaliknya.

Curah hujan di Tembagapura sekitar 12.000 milimeter per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia, kata Presiden Direktur PTFI Tony Wenas, Jumat (16/8/2004).

Kabut tebal menyelimuti Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, menjelang maghrib, Jumat (16/8/2024). Kota kecil nan indah yang dibangun PT Freeport Indonesia ini hampir saban hari diguyur hujan. (Foto: iNews.id/Zen Teguh)
Kabut tebal menyelimuti Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, menjelang maghrib, Jumat (16/8/2024). Kota kecil nan indah yang dibangun PT Freeport Indonesia ini hampir saban hari diguyur hujan. (Foto: iNews.id/Zen Teguh)

Pada Oktober 2018, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama PTFI menancapkan papa nama bertuliskan "The Wettest Place on Earth" (tempat terbasah di bumi) di mile post 50 Tembagapura.

Stasiun Pemantau curah hujan MP50 berada pada koordinat 4,28 derajat LS, 137 derajat BT dan ketinggian 617 meter di atas permukaan laut. Stasiun MP50 merupakan salah satu dari 12 stasiun pemantau cuaca otomatis yang dikelola oleh PTFI dan setiap tahun dikalibrasi oleh BMKG.

Sebagai gambaran, pada laman Weather Crave, perkiraan suhu Tembagapura rata-rata berkisar antara 15-19 derajat Celcius selama Agustus. Pada malam hari, suhu turun hingga 14 derajat. Cuaca didominasi hujan dengan potensi petir.

Kalau sekitar Jakarta ada Bogor sebagai kota hujan, di sini ada Tembagapura, canda Mario, salah satu karyawan PTFI.

Dibangun Freeport

Kehadiran Tembagapura tak lepas dari keberadaan PT Freeport Indonesia. Kota ini dibangun sebagai konsekuensi atas dimulainya penambangan tembaga, emas dan perak di dataran tinggi Mimika. Mula-mula di Ertsberg atau gunung bijih. Dalam bahasa suku Amungme, masyarakat adat setempat, Ertsberg disebut Yelsegel Ongopsegel.

Merunut sejarah, Freeport juga tak tiba-tiba datang ke Papua. Semua bermula ketika pada 1936 AH Colijn, FJ Wissel dan geolog Jean-Jacques Dozy dari Belanda melakukan ekspedisi Cartenz. Mereka merupakan kelompok luar pertama yang mencapai gunung gletser Jayawijaya dan menemukan Ertsberg. Data mengenai batuan ini lantas dibawa ke Belanda. Pada 1963 ekspedisi lanjutan ke Ertsberg dilakukan oleh Forbes Wilson dan Del Flint.

Mantan menteri perindustrian mendiang AR Soehoed menceritakan, di awal pemerintahan Soeharto, lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Beleid ini merupakan terobosan besar sebagai langkah menggenjot perekonomian di tengah kondisi negara yang masih serba terbatas.

Lahirnya UU PMA ditangkap pemimpin Freeport-McMoran Inc kala itu, Langbourne Williams. Dia ingin menggarap proyek Ertsberg. William lantas bertemu Julius Tahija, yang pada masa Orde Lama memimpin perusahaan Texaco. Setelah itu dia bertemu Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Sutowo.

Hasil pertemuan itu Freeport mendapatkan izin operasional pada 1967 melalui perjanjian kontrak karya pertama yang berlaku 30 tahun sejak mulai beroperasi pada 1973, kata Soehoed dalam tulisannya, Sejarah Pengembangan PT Freeport Indonesia.

Seiring kontrak karya pertama itu, Freeport pun bergerak memulai eksplorasi Ertsberg. Aktivitas ini berarti melibatkan karyawan dalam jumlah tak sedikit. Untuk mendukung operasional itu lah dibangun permukiman baik di dataran rendah (lowland) dan dataran tinggi (highland).

Di dataran tinggi, Tembagapura mulai dibangun pada 1970-1972. Sebagai kota tambang, mayoritas penghuni tentu para pekerja tambang PTFI dan keluarganya. Lanskap kota yang naik-turun karena berada di lembah pegunungan ini tidak saja berisi hunian, namun juga telah lengkap dengan berbagai sarana pendukung.

Lalu-lalang bus kota di Distrik Tembagapura. Kendaraan ini unik. Meski disebut bus, sebenarnya dia adalah truk. (Foto: PTFI).
Lalu-lalang bus kota di Distrik Tembagapura. Kendaraan ini unik. Meski disebut bus, sebenarnya dia adalah truk. (Foto: PTFI).

Sebut saja sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, hingga pusat perbelanjaan. Tak ketinggalan pula pusat rekreasi dan olahraga. Teranyar, di Tembagapura baru saja diresmikan kolam renang indoor berskala internasional (olympic size).

Biaya pembangunan fasilitas ini mencapai USD2,5 juta atau setara Rp38 juta (kurs Rp15.470). Terbilang mahal karena konstruksi gedung membutuhkan effort yang besar. Saat membangun pondasi, di bawah sini batu-batunya sebesar rumah, Pak. Itu yang membuat biaya cukup besar, tutur Manajer Pengelolaan Fasilitas PTFI Sugiharso kepada Tony Wenas dalam acara peresmian kolam renang itu pada Sabtu, 17 Agustus 2024.

Kota Kebhinekaan

Tony Wenas kerap menggambarkan Tembagapura sebagai melting pot atau titik lebur kebudayaan Indonesia. Pendek kata, kota mungil nan indah ini sekaligus miniatur kebhinekaan Nusantara.

Penggambaran yang tak berlebihan mengingat Tembagapura dihuni oleh masyarakat dari berbagai daerah. Bukan hanya orang asli Papua, namun juga tersebar dari Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, NTT, Sulawesi dan lainnya. Itu artinya berbagai suku dari Indonesia juga ada di Tembagapura.

Bila dihitung sejak pertama kali berdiri pada 1973, penghuni kota ini bahkan telah turun-temurun hingga tiga generasi atau lebih. Sebagian besar dari anak-anak pegawai Freeport, ada yang mengikuti jejak orang tuanya. Namun banyak pula yang berdiaspora ke berbagai tempat lain dengan pekerjaan beragam.

Melting pot kebhinekaan Tembagapura tecermin nyata dalam upacara HUT ke-79 RI yang digelar PTFI di lapangan Sport Hall Tembagapura. Ketika upacara pengibaran bendera usai, acara diisi dengan pagelaran budaya yang mempertemukan tarian dari seluruh Indonesia.

Menariknya, tarian kolosal nan apik itu dimainkan oleh karyawan Freeport dari berbagai divisi berpadu dengan sanggar tari dari paguyuban masing-masing daerah di Tembagapura. Jadilah satu rangkaian parade tari Nusantara yang membuat penonton tak henti memberikan tepuk tangan meriah.

Parade Tari Nusantara dalam perayaan HUT Kemerdekaan ke-79 RI di Sport Hall Tembagapura, Sabtu (18/8/2024). (Foto: iNews.id/Zen teguh).
Parade Tari Nusantara dalam perayaan HUT Kemerdekaan ke-79 RI di Sport Hall Tembagapura, Sabtu (18/8/2024). (Foto: iNews.id/Zen teguh).

Parade ini diawali dengan penampilan kolaborasi antara Divisi Learning and Organization Development dan kerukunan masyarakat Sumatera Selatan, yang membawa nuansa khas Sumatra. Selanjutnya, Divisi Concentrating bersama ikatan keluarga Minang menampilkan Tarian Pasambahan.

Parade berikutnya dipersembahkan Divisi Security Risk Management bersama Perkumpulan Keluarga Batak Tembagapura yang membawakan Tari Tortor. Mewakili Budaya Bali, Divisi Grasberg Earthwork menampilkan Tarian Bisma Siwa Silala. Setelah itu dilanjutkan Divisi Mining Safety bersama Paguyuban Ngayogjokarto, Cilacap, Solo menyajikan tari kolaborasi khas Solo dengan kostum yang unik.

Penampilan apik juga ditunjukkan Divisi Underground Mine menampilkan budaya Jawa Timur dalam Tarian Prajurit Kesatria. Kemudian Divisi Geo Engineering dan Environment tampil bersama Paguyuban Mitra Riung Gunung menghadirkan budaya Sunda melalui Tarian Sisingaan dan seterunya.

Tembagapura adalah miniatur Indonesia. Di sini tinggal ribuan karyawan yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dalam perayaan HUT Ke-79 Kemerdekaan RI kami menampilkan keberagaman tersebut melalui Parade Tarian Nusantara Kemerdekaan. Dari Tembagapura kami ingin menyampaikan pesan agar kita senantiasa harmoni dalam keberagaman, kata Ketua Panitia HUT ke-79 Kemerdekaan RI PTFI, Benyamin.

Topik Menarik