DPR Sepakati 5 Pimpinan KPK 2024-2029, Hendardi: Menunjukkan Kelanjutan Skenario Pelemahan KPK
JAKARTA, iNewsTangsel.id - Keputusan DPR RI untuk memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota BPK secara politik telah menggerus independensi KPK. Sebagai lembaga negara yang tergolong constitutional important body dan independen, KPK kini menghadapi risiko kendali eksternal. DPR RI secara sadar memilih kandidat yang memiliki afiliasi organisasi, membuka ruang bagi potensi pengaruh atas tindakan, keputusan, dan agenda pemberantasan korupsi.
Dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/11/2024) Hendardi mengatakan Secara hukum, para kandidat yang terpilih memang memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan di KPK. Demikian pula, DPR memiliki kewenangan untuk menentukan pilihannya. Namun, perlu diingat bahwa KPK dibentuk sebagai auxiliary state institution dan sebagai antitesis atas ketidakakuntabelan lembaga ordinary state institution seperti kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di masa lalu.
Vonis 7 Tahun Terdakwa Penganiaya Siswa SMPPT Azzayadiy, Keluarga Korban Hadir Bawa Foto Almarhum
Pilihan DPR terhadap lima pimpinan KPK yang memiliki patronase organisasi dan hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan menunjukkan kelanjutan skenario pelemahan KPK. Hal ini bermula sejak era Presiden Jokowi yang membentuk Panitia Seleksi, memilih 10 kandidat, dan menyerahkannya ke DPR, melanjutkan upaya pelemahan KPK yang dimulai melalui revisi UU KPK pada 2019 (UU No. 19/2019).
Ketiadaan perwakilan masyarakat sipil dalam daftar pimpinan terpilih menghilangkan elemen penjaga independensi KPK. DPR seolah mengabaikan langkah minimal ini untuk mempertahankan otonomi lembaga tersebut. Narasi keberhasilan Kejaksaan Agung dan Polri dalam pemberantasan korupsi digunakan sebagai dalih untuk melemahkan KPK dengan memilih pimpinan yang dianggap sebagai perwakilan organ negara masing-masing.
Kepemimpinan KPK dengan komposisi seperti ini akan sulit mendapatkan kepercayaan publik. Upaya pemberantasan korupsi kemungkinan besar hanya akan berupa simbol dan retorika untuk menenangkan masyarakat agar tetap patuh membayar pajak.
Dalam situasi ini, wajar dan layak jika muncul mosi tidak percaya dari publik terhadap KPK periode 2024-2029, serta terhadap DPR RI saat ini, khususnya Komisi III DPR.