Food Estate Terbukti Bermasalah, Tidak Menjawab Kebutuhan Pangan Rakyat

Food Estate Terbukti Bermasalah, Tidak Menjawab Kebutuhan Pangan Rakyat

Terkini | tangsel.inews.id | Kamis, 24 Oktober 2024 - 08:10
share

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Solidaritas Perempuan, Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice, WALHI, KruHa, dan SBMI mengadakan aksi simbolik di depan Kementerian Keuangan, Rabu (23/10/2024).  Aksi ini menggambarkan "darah dari Food Estate" sebagai simbol dari banyaknya pengorbanan dan penderitaan akibat pemaksaan proyek ini. Dalam keterangan tertulisnya, Food estate merupakan warisan buruk dari pemerintahan Jokowi yang terbukti gagal dan merugikan petani serta rakyat kecil, terutama perempuan yang sangat berperan dalam menjaga lingkungan. Masyarakat, khususnya perempuan yang mempertahankan ruang hidup mereka, terus berhadapan dengan tindakan militerisme. Meskipun demikian, proyek ini tetap dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.

Di beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, pemaksaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate menyebabkan penggusuran paksa, kriminalisasi petani, perusakan lingkungan, dan perampasan lahan yang mengakibatkan hilangnya mata pencaharian banyak perempuan. Data dari WALHI mencatat bahwa sejak 2022, setidaknya 15.000 hektar lahan produktif di Sumatera dan 10.000 hektar di Papua telah dialihfungsikan secara paksa untuk proyek Food Estate, mengakibatkan lebih dari 3.000 keluarga petani kehilangan akses lahan.

Dalam peringatan Hari Pangan Internasional, perlu diakui peran penting perempuan dalam produksi, pengolahan, dan ketahanan pangan, terutama di pedesaan. Namun, kebijakan pro-investasi pemerintah terus memperburuk kehidupan perempuan, terutama melalui proyek Food Estate yang memaksakan alih fungsi lahan dan menimbulkan penderitaan di berbagai wilayah.

Proyek Food Estate yang diklaim sebagai solusi krisis pangan oleh pemerintah justru memperparah krisis bagi perempuan dan petani kecil. Selain menyebabkan hilangnya lahan pertanian produktif, proyek ini juga meningkatkan ketergantungan Indonesia pada impor pangan. Menurut data BPS 2024, lebih dari 30 kebutuhan pangan nasional masih dipenuhi dari impor, melemahkan potensi pangan lokal yang seharusnya menjadi prioritas dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.

Perempuan pedesaan, yang menjadi tulang punggung produksi pangan di banyak wilayah, menghadapi tantangan besar akibat proyek Food Estate. Mereka tidak hanya kehilangan akses terhadap lahan, tetapi juga menghadapi dampak sosial dan ekonomi yang berat. Berdasarkan data FAO, perempuan di sektor pertanian dapat meningkatkan produksi pangan hingga 30 jika mereka memiliki akses yang sama terhadap sumber daya produktif seperti tanah, air, dan modal. Namun, akses ini semakin terbatas akibat proyek pembangunan seperti Food Estate yang mengesampingkan peran perempuan dalam sistem pangan lokal.

 

Pada saat yang sama, krisis ekonomi dan krisis iklim memperburuk kondisi masyarakat pedesaan. Data BPS 2024 menunjukkan pendapatan perempuan pedesaan terus menurun sejak pandemi, dengan partisipasi pekerja perempuan menurun dari 21,45 menjadi 17,44. Sementara itu, inflasi harga pangan tetap tinggi, memperburuk kesulitan yang mereka hadapi. Kondisi ini menciptakan kemiskinan yang berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif.

Solidaritas Perempuan, Aksi!, WALHI, KruHa, dan SBMI menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan pemaksaan proyek Food Estate serta kebijakan pembangunan yang merugikan perempuan produsen pangan. Tuntutan mereka kepada pemerintah Indonesia meliputi:

1. Penghentian segera proyek Food Estate yang merusak sumber kehidupan petani dan perempuan pedesaan.
2. Pengalihan anggaran proyek Food Estate untuk memperkuat kedaulatan pangan lokal dan mendukung akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti tanah dan air.
3. Penghormatan terhadap hak-hak perempuan produsen pangan dengan melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan terkait penggunaan dan akses lahan.
4. Penegakan hak atas tanah dan penghentian perampasan lahan, terutama di wilayah yang terdampak langsung oleh proyek Food Estate dan proyek iklim lainnya.
5. Pencabutan kebijakan pro-Food Estate yang merupakan solusi palsu, yang menyebabkan feminisasi kemiskinan melalui penghancuran ruang kelola masyarakat dan eksploitasi lingkungan.

Krisis pangan di Indonesia tidak bisa diatasi dengan proyek yang hanya menguntungkan segelintir elit dan investor. Pemerintah harus memprioritaskan keadilan gender dan keberlanjutan ekologi dengan memastikan perempuan—penjaga utama sistem pangan lokal—memiliki akses penuh terhadap sumber daya yang mereka butuhkan untuk mempertahankan kedaulatan pangan.

Topik Menarik