UGM Tindak Tegas Kasus Kekerasan Seksual oleh Guru Besar Farmasi, Dicopot dan Proses Kepegawaian Disiapkan
Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil langkah tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan Prof. Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi. Meskipun pelaku telah diberhentikan secara tetap dari jabatan dosen, UGM kini tengah memproses pelanggaran disiplin kepegawaian sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Sekretaris UGM Andi Sandi mengungkapkan bahwa pihaknya segera membentuk tim pemeriksa disiplin sebagai tindak lanjut dari delegasi pemeriksaan yang diberikan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktistek RI).
“Dalam satu-dua hari ini, pimpinan universitas akan mengeluarkan keputusan pembentukan tim pemeriksa. Tim ini terdiri dari tiga unsur, yaitu atasan langsung, bidang SDM, dan pengawasan internal,” jelas Andi kepada wartawan di UGM, Selasa (8/4/2025).
Andi menegaskan, pemeriksaan ini akan fokus pada aspek pelanggaran disiplin kepegawaian. Setelah proses pemeriksaan selesai, hasilnya akan diserahkan kepada Rektor UGM untuk kemudian dilanjutkan ke kementerian.
“Keputusan akhir tetap berada di tangan kementerian, karena yang bersangkutan adalah PNS. UGM tidak punya kewenangan memberhentikan PNS, itu ranah pemerintah,” ujarnya.
Meski demikian, secara institusi UGM telah menjatuhkan sanksi tegas. Berdasarkan hasil pemeriksaan Komite Pemeriksa yang dibentuk oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM, Edy Meiyanto terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa dalam rentang waktu 2023–2024.
Laporan awal diterima oleh pihak Fakultas Farmasi pada Juli 2024. Pimpinan fakultas langsung menindaklanjuti dengan membebaskan yang bersangkutan dari seluruh aktivitas Tridharma dan mencopotnya dari jabatan sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) pada 12 Juli 2024.
Komite Pemeriksa dibentuk melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024 dan bekerja hingga Oktober 2024. Berdasarkan pemeriksaan terhadap korban, saksi, dan bukti-bukti, pelaku dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2023, serta melanggar kode etik dosen. Rektor kemudian mengeluarkan Keputusan No. 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 pada 20 Januari 2025 yang menyatakan pemberhentian tetap sebagai dosen.
Meski demikian, status guru besar dan ASN pelaku masih berada di bawah kewenangan kementerian. Untuk itu, UGM terus berkoordinasi intensif guna mempercepat proses administratif dan hukum yang berlaku.
“Tugas kami sekarang adalah fokus pada disiplin kepegawaian. Tapi yang terpenting, kami terus mendampingi dan melindungi para korban,” tegas Andi.
Komitmen Jaga Ruang Aman Kampus (H2)
UGM menyatakan komitmennya untuk menciptakan ruang akademik yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Sejak 2016, UGM telah merumuskan kebijakan pencegahan kekerasan seksual dan memperkuatnya lewat peluncuran Health Promoting University (HPU) tahun 2019, serta membentuk Satgas PPKS UGM sejak 3 September 2022 sejalan dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.
“Penanganan kasus-kasus kekerasan seksual selalu mengedepankan prinsip keadilan gender serta pemulihan bagi korban,” tulis UGM dalam keterangan resminya.
Ketua RT Ungkap Sosok Satu Keluarga asal Semarang Tewas dalam Kecelakaan Bus di Arab Saudi
Selain penjatuhan sanksi, pendampingan korban juga dilakukan secara berkelanjutan oleh Satgas PPKS. UGM menegaskan bahwa berbagai kebijakan, sosialisasi, dan mekanisme penanganan akan terus diperkuat untuk menjamin kampus sebagai ruang aman bagi seluruh sivitas akademika.