Kasus Hipertensi dan Kolesterol Naik, Singapura Wajibkan Label Gizi pada Makanan Olahan
Pemerintah Singapura akan memperluas penerapan label Nutri-Grade ke berbagai produk makanan olahan seperti mi instan, bumbu dapur, dan minyak goreng mulai pertengahan tahun 2027. Langkah ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk menekan konsumsi natrium dan lemak jenuh yang berlebih, dua faktor utama penyebab meningkatnya kasus hipertensi dan kolesterol tinggi di negara tersebut.
Selama ini, pelabelan Nutri-Grade hanya berlaku untuk minuman dan menilai kadar gula serta lemak jenuh dalam skala A hingga D. Namun, mulai 2027, sistem yang sama akan diterapkan pada makanan kemasan, terutama yang menjadi sumber utama asupan garam dan lemak jenuh masyarakat.
Dilansir dari Channel News Asia, Selasa (8/4/2025), pengumuman ini disampaikan oleh Menteri Kesehatan Ong Ye Kung pada Minggu, 6 April 2025. Menurut Ong, jumlah kasus penyakit jantung, terutama serangan jantung, telah meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir.
"Pada tahun 2022, 36 warga Singapura didiagnosis menderita infark miokard akut atau serangan jantung setiap hari. Itu berarti lebih dari satu orang setiap jam. Sepuluh tahun sebelumnya, jumlahnya 25 per hari," kata Ong.
"Ini bukan sekadar statistik, karena setiap korban adalah anggota keluarga, teman, atau kolega," sambungnya.
Ia menekankan pentingnya deteksi dini serta kesadaran terhadap tiga faktor risiko utama yakni diabetes, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi hipertensi kini mencapai 37 persen, hampir dua kali lipat dari angka tahun 2010, sementara 31,9 persen warga juga tercatat menderita hiperlipidemia atau kolesterol tinggi.
Tingginya konsumsi natrium dan lemak jenuh menjadi penyebab utama. Rata-rata asupan natrium penduduk meningkat dari 3.480 mg pada 2019 menjadi 3.620 mg per hari, hampir dua kali lipat dari batas maksimal 2.000 mg per hari yang dianjurkan. Begitu pula dengan lemak jenuh, yang mencakup 36 persen dari total asupan lemak, melampaui rekomendasi maksimal sebesar 30 persen.
"Dalam hal diet, sebagian besar warga Singapura akan memperoleh manfaat yang sangat besar, bukan dengan mengikuti program diet mewah apa pun, tetapi dengan sekadar mengurangi konsumsi tiga S, gula, natrium, lemak jenuh," jelasnya.
Pelabelan Nutri-Grade yang diperluas akan menyasar 23 subkategori produk, termasuk garam, kecap, saus ikan, bumbu instan, mi instan, dan minyak goreng. Data dari MOH dan HPB menunjukkan bahwa 95 persen produk garam dan 82 persen mi instan yang beredar masuk dalam kategori C atau D, yang mencerminkan tingkat natrium atau lemak jenuh yang tinggi.
Label Nutri-Grade akan tetap menggunakan sistem peringkat A hingga D, dengan produk kategori D dilarang untuk diiklankan. Penilaian didasarkan pada kandungan tertinggi dari tiga zat gizi utama yakni gula, natrium, dan lemak jenuh. Misalnya, jika sebuah produk memiliki natrium kelas C dan lemak jenuh kelas D, maka keseluruhan nilai Nutri-Grade-nya adalah D, dan label akan menyoroti lemak jenuh sebagai perhatian utama.
Setiap subkategori produk akan memiliki ambang batas gizi tersendiri, sesuai dengan karakteristik dan cara penggunaannya. Ong mencontohkan bahwa kecap asin, kecap manis, dan saus ikan tidak bisa dinilai dengan standar yang sama, karena berbeda dalam komposisi dan cara konsumsi. Tanpa pembeda ini, produk seperti saus ikan yang digunakan dalam jumlah sedikit namun tinggi natrium akan selalu mendapat nilai buruk tanpa ruang untuk perbaikan.
"Tidak mungkin untuk menilai kecap manis, kecap asin, dan kecap ikan berdasarkan serangkaian ambang batas yang sama, mengingat adanya perbedaan inheren dalam kandungan natrium dan gula di dalamnya, dan yang lebih penting, perbedaan inheren dalam cara kita menggunakan saus-saus tersebut," ujarnya.
"Jika kita membiarkan setiap saus menggunakan ambang batas yang sama, bahan seperti saus ikan yang secara inheren memiliki kandungan natrium tinggi dan digunakan dengan hemat, akan dikutuk untuk diberi nilai D dengan sedikit harapan untuk perbaikan. Produsennya juga tidak akan memiliki insentif untuk melakukan perbaikan," tandasnya.
Dengan adanya ambang batas spesifik, konsumen akan lebih mudah membandingkan produk dalam kategori yang sama dan memilih opsi yang lebih sehat. Sementara industri didorong untuk melakukan reformulasi secara realistis dan bertahap.