Kisah Tak Terduga Jenderal Kopassus AM Hendropriyono Bertemu Eks Musuh di Rimba Kalimantan Bong Kee Chok
PERTEMUAN dua tokoh militer dari sisi yang berseberangan, Jenderal Kopassus Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono dan Bong Kee Chok, menjadi momen langka. Selain itu menyimpan pelajaran mendalam tentang rekonsiliasi, kemanusiaan, dan penutup dari konflik bersenjata masa lalu.
Jauh sebelum keduanya saling berjabat tangan di lobi Hotel Four Seasons, Singapura, mereka adalah lawan sengit dan musuh bebuyutan di medan perang.
Hendropriyono, perwira TNI AD dari satuan elit Kopassandha (Kopassus), memimpin operasi di belantara Kalimantan pada awal 1970-an untuk menumpas kelompok bersenjata PGRS/Paraku yang berhaluan komunis. Salah satunya dipimpin oleh Bong Kee Chok.
Operasi itu bukan sekadar pertempuran biasa. Dikutip dalam buku biografi berjudul “Operasi Sandi Yudha”, Hendropriyono dan pasukannya harus menyusup sejauh 4,5 kilometer melalui hutan lebat Kalimantan.
Merayap dalam keheningan malam dengan ancaman bukan hanya dari musuh, tapi juga dari alam liar. Salah satu momen yang paling mendebarkan adalah ketika seekor ular King Cobra besar nyaris menyergap mereka dalam diam.
Namun, titik klimaks operasi terjadi dalam duel jarak dekat antara Hendropriyono dan komandan musuh, Sukirjan alias Siauw Ah San.
Perkelahian sengit itu menyebabkan luka serius di tubuh Hendropriyono. Kelingkingnya nyaris putus, paha kirinya robek karena bayonet.
Tapi pada akhirnya, Hendropriyono berhasil menembak mati Sukirjan. Sedangkan tokoh utama PGRS/Paraku, Bong Kee Chok, masih lolos.
Tak disangka, bertahun-tahun setelah konflik mereda, takdir mempertemukan mereka dalam suasana damai. Atas prakarsa Mark Wee, sahabat lama Hendropriyono, sebuah pertemuan diatur di Singapura pada 2011 atau 38 tahun setelah operasi militer tersebut.
“Wow, ini dia orang yang kami buru habis-habisan dulu,” ucap Hendropriyono mengenang reaksi pertamanya saat akhirnya melihat langsung sosok Bong Kee Chok.
Penampilan Bong Kee Chok saat itu jauh dari bayangan seorang pemberontak berbahaya. Tubuhnya tidak tinggi, kulit gelap, dan sorot matanya tetap tajam di usia senja.
Bong Kee Chok memperkenalkan diri dengan tenang, lalu menunjukkan luka-luka lama-dua jarinya hilang akibat ledakan granat tua, leher dan lututnya penuh bekas luka.
Dalam suasana santai tapi sarat makna, keduanya berbagi cerita soal luka-luka fisik dan emosional yang mereka dapat dari masa lalu.
Hendropriyono bahkan sempat bercanda soal luka di pahanya yang “tidak bisa diperlihatkan.”
Sementara Bong Kee Chok mengakui bagaimana ia selamat dari berbagai penyergapan dan akhirnya menyerah karena kelelahan serta kesadaran akan masa depan.
“Pertemuan itu seperti menutup bab panjang dalam hidup saya. Tidak ada lagi kebencian, hanya pemahaman bahwa kami dulu hanya menjalankan peran masing-masing,” ujar Hendropriyono.
Kini, dari seorang perwira tempur menjadi negarawan dan mantan Kepala BIN, Hendropriyono menegaskan bahwa keberanian tidak hanya ditunjukkan di medan perang, tapi juga dalam menerima masa lalu dengan lapang dada.
Kisah ini bukan hanya potret sejarah militer Indonesia, tapi juga cermin bahwa bahkan musuh yang paling sengit pun bisa menjadi sahabat jika kebencian ditinggalkan.