Taiwan Lawan Tekanan China di PBB, Tegaskan Status sebagai Negara Berdaulat
Isu kontroversial tentang status Taiwan di komunitas internasional kembali menjadi sorotan, di mana Dewan Urusan Daratan (MAC) Taiwan dengan keras membantah pernyataan terbaru China.
Inti dari perselisihan tersebut terletak pada penafsiran Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2758, yang menurut Republik Rakyat China (RRC) menegaskan otoritasnya atas Taiwan—klaim yang dibantah keras Taipei dan sebagian besar komunitas internasional.
Selama Kongres Rakyat Nasional ke-14, Menteri Luar Negeri Chinja Wang Yi menegaskan kembali sikap Beijing yang sudah lama bahwa Taiwan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah China. Dia berpendapat bahwa dokumen sejarah, seperti Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam, mengesahkan kedaulatan China atas Taiwan setelah Jepang menyerah pada tahun 1945.
Lebih jauh, Wang Yi menegaskan bahwa Resolusi PBB 2758, yang disahkan pada tahun 1971, telah menyelesaikan masalah perwakilan China di PBB, termasuk Taiwan, sehingga tidak ada ruang untuk penafsiran seperti “Dua China” atau “Satu China, satu Taiwan."
Mengutip dari European Times, Jumat (4/4/2025), MAC Taiwan dengan cepat merespons, membantah klaim Wang dan menekankan bahwa Resolusi 2758 tidak membahas status Taiwan, apalagi menunjuknya sebagai bagian dari China.
MAC menggarisbawahi bahwa Taiwan adalah negara berdaulat dan merdeka, dengan pemerintah yang dipilih secara demokratis yang mewakili 23,5 juta warganya.
Dewan tersebut menuduh Beijing sengaja mendistorsi resolusi PBB untuk menegakkan narasi “Satu China” dan menekan kehadiran internasional Taiwan.
Akar konflik ini dapat ditelusuri kembali ke era pasca-Perang Dunia II. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Taiwan dikembalikan ke kendali China di bawah Republik China (ROC). Namun, Perang Saudara China kemudian meletus, yang berpuncak pada pendirian RRC di daratan pada 1949 dan ROC mundur ke Taiwan. Pulau itu kemudian berkembang menjadi demokrasi dinamis, sementara daratan mempertahankan rezim otokratis. Perbedaan dalam pemerintahan ini semakin memicu pertanyaan tentang status Taiwan.
Resolusi PBB 2758
Masyarakat internasional telah lama bergulat dengan menyeimbangkan narasi yang saling bertentangan ini. Pada tahun 1971, Resolusi PBB 2758 mengakui RRC sebagai perwakilan sah China di PBB, yang secara efektif mengusir ROC.Namun, resolusi tersebut tidak secara eksplisit membahas status Taiwan atau memberikan otoritas RRC atas pulau itu. Sebaliknya, resolusi itu hanya menyelesaikan masalah pemerintah mana yang mewakili “China” di PBB.
Taiwan secara konsisten menolak klaim kedaulatan RRC, menyoroti sistem demokrasi dan pencapaian ekonominya sebagai bukti identitasnya yang berbeda.
MAC, bersama Kementerian Luar Negeri Taiwan, menunjukkan bahwa banyak negara demokrasi Barat telah menegaskan bahwa Resolusi 2758 hanya berkaitan dengan perwakilan China di PBB, bukan status Taiwan.
Misalnya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah berulang kali mengklarifikasi bahwa resolusi tersebut tidak menghalangi partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional.
Negara-negara lain, termasuk Australia, Kanada, dan anggota Uni Eropa, telah menyuarakan sikap ini.
Resolusi dari Parlemen Eropa telah menyerukan peningkatan kerja sama dengan Taiwan dan menekankan pentingnya Taiwan sebagai mitra demokrasi di kawasan Indo-Pasifik. Penegasan ini menantang upaya Beijing untuk mendefinisikan ulang "masalah Taiwan" sebagai masalah internal.
Selama bertahun-tahun, Beijing telah menggunakan campuran taktik diplomatik, ekonomi, dan militer untuk mengisolasi Taiwan secara internasional. Misalnya, RRC telah memanfaatkan pengaruh ekonominya untuk membujuk negara-negara lain agar memutuskan hubungan resmi dengan Taipei.
Pada tahun 2018, El Salvador dan Republik Dominika mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Beijing di bawah tekanan, menyusul langkah serupa yang dilakukan Panama pada 2017.
Selain itu, Beijing telah menghalangi partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional.
Pengecualian pulau itu dari Majelis Kesehatan Dunia (WHA) selama pandemi Covid-19 menuai kritik global, dengan banyak pihak berpendapat bahwa keahlian Taiwan dalam menangani virus itu penting. RRC membenarkan pengecualian tersebut dengan menggunakan Resolusi 2758, yang selanjutnya menggambarkan salah tafsirnya terhadap dokumen tersebut.
Upaya Beijing untuk merongrong kedaulatan Taiwan melampaui diplomasi. Dalam beberapa tahun terakhir, RRC telah mengintensifkan aktivitas militer di dekat Selat Taiwan, dengan melakukan latihan udara dan laut secara berkala.
Tindakan Tersebut dipandang sebagai unjuk kekuatan dan sarana untuk mengintimidasi Taipei. Menurut Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan, pesawat militer China melanggar zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan lebih dari 950 kali pada tahun 2022 saja.
Pengakuan Internasional Taiwan
Meski tekanan meningkat, Taiwan telah menunjukkan ketahanan luar biasa. Kekuatan ekonominya, yang didorong oleh industri seperti manufaktur semikonduktor, telah menjadikannya pemain penting dalam rantai pasokan global.Secara politis, demokrasinya yang dinamis terus menuai kekaguman, dengan organisasi internasional memberi peringkat tinggi bagi Taiwan dalam hal kebebasan dan transparansi.
Namun, Taiwan menghadapi tantangan signifikan dalam upayanya mendapatkan pengakuan internasional yang lebih besar. Perang hibrida Beijing, yang menggabungkan intimidasi militer, kampanye disinformasi, dan pemaksaan ekonomi, berupaya mengikis kedudukan global Taiwan.
Upaya RRC untuk menulis ulang norma-norma internasional, membingkai Taiwan sebagai masalah internal, bertujuan untuk mengecualikan pulau itu dari forum-forum di mana suaranya sangat penting.
Perselisihan yang sedang berlangsung atas status Taiwan menggarisbawahi kompleksitas hubungan lintas selat dan keterbatasan hukum internasional dalam menyelesaikan konflik semacam itu.
Sementara Beijing terus mengeklaim pembenaran historis dan hukum atas kedaulatannya atas Taiwan, Taipei dan sekutunya menyoroti identitas demokrasi dan kontribusi internasional pulau itu.
Upaya untuk menyelesaikan ketegangan ini memerlukan dialog pragmatis dan komitmen untuk menjaga perdamaian di kawasan tersebut. Komunitas internasional, khususnya negara-negara demokratis, harus menjunjung tinggi prinsip kedaulatan dan penentuan nasib sendiri sambil melawan disinformasi Beijing.
Dengan demikian, mereka dapat mendukung Taiwan dalam upayanya untuk berpartisipasi secara bermakna di panggung global, memastikan bahwa suaranya tidak tenggelam oleh paksaan dan misrepresentasi.
Penolakan Taiwan terhadap klaim China di PBB bukan sekadar pembelaan terhadap kedaulatannya, tetapi penegasan yang lebih luas tentang perannya sebagai anggota komunitas internasional yang bertanggung jawab dan demokratis. Tantangan yang dihadapi Taiwan sangat berat, tetapi tekadnya tetap tak tergoyahkan.