Reformasi Setengah Hati Menkeu Sri Mulyani
KusfiardiAnalis Ekonomi Politik FINE Institute
SRI Mulyani Indrawati telah menjadi figur utama dalam pengelolaan keuangan negara selama bertahun-tahun. Kiprahnya sebagai Menteri Keuangan diakui secara internasional, bahkan ia meraih gelar Best Finance Minister in Asia-Pacific selama tiga tahun berturut-turut. Penghargaan tersebut diberikan oleh FinanceAsia dengan mempertimbangkan indikator seperti stabilitas makroekonomi dan defisit APBN yang terkendali.
Namun, penghargaan ini tidak serta-merta mencerminkan keberhasilan dalam semua aspek pengelolaan fiskal. Beberapa indikator utama menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar yang belum teratasi, terutama dalam optimalisasi penerimaan pajak, efektivitas belanja negara, serta penguatan fundamental ekonomi untuk memastikan kesejahteraan rakyat.
Meskipun pemerintah berhasil menjaga stabilitas ekonomi, hal ini belum cukup untuk menjamin peningkatan kesejahteraan secara merata. Tanpa reformasi fiskal yang lebih mendalam dan strategi yang lebih efektif, Indonesia berisiko mengalami stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kinerja Menteri Keuangan menjadi hal yang sangat penting.
Tax Ratio Tertinggal
Salah satu tantangan utama dalam kebijakan fiskal Indonesia adalah rendahnya tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tax ratio mencerminkan seberapa besar kontribusi pajak terhadap perekonomian suatu negara, yang menjadi salah satu indikator kapasitas pemerintah dalam membiayai pembangunan.Dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia mengalami stagnasi. Pada 2021, angkanya hanya 9,11, lalu meningkat menjadi 10,38 pada 2022. Namun, pada 2023 justru turun sedikit menjadi 10,31, dan di 2024 kembali turun ke 10,08.Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, capaian ini masih jauh tertinggal. Thailand memiliki tax ratio berkisar 14-16, Malaysia 12-15, dan Vietnam mencapai 18-20. Negara-negara dengan tax ratio yang lebih tinggi memiliki kapasitas fiskal lebih besar untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, serta program sosial lainnya. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi keterbatasan fiskal yang menyebabkan pembangunan berjalan lebih lambat dan tidak merata.
Rendahnya tax ratio ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak masih belum cukup efektif. Ini juga menandakan adanya potensi pajak yang belum tergali secara optimal, baik dari sektor formal maupun informal. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, Indonesia akan semakin sulit untuk bersaing dengan negara-negara tetangga dalam hal pembangunan ekonomi.
Setengah Hati
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, salah satunya melalui reformasi sistem perpajakan. Namun, hasilnya masih belum optimal karena reformasi yang dilakukan cenderung setengah hati.Salah satu isu utama dalam reformasi pajak adalah status Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang masih berada di bawah Kementerian Keuangan. Padahal, di banyak negara lain, otoritas pajak berdiri sebagai lembaga independen yang langsung berada di bawah presiden. Model ini memungkinkan lembaga pajak bekerja lebih fleksibel dan efisien dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta memperluas basis pajak.
Namun, Sri Mulyani enggan melepaskan DJP dari Kementerian Keuangan, yang menyebabkan reformasi perpajakan berjalan lambat. Ketergantungan terhadap sistem birokrasi yang panjang membuat kebijakan pajak sering kali tidak dapat diterapkan dengan cepat dan efektif.
Selain itu, penerapan sistem Coretax yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi perpajakan justru menimbulkan banyak kendala. Gangguan teknis dalam sistem ini menyebabkan banyak pelaku usaha kesulitan dalam pelaporan pajak, sehingga berdampak pada anjloknya penerimaan negara.
Pada dua bulan pertama 2025, penerimaan pajak mengalami penurunan sebesar 30 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika gangguan dalam sistem ini tidak segera diselesaikan, maka stabilitas fiskal akan semakin terganggu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi nasional.
Defisit Lebih Awal
Defisit APBN merupakan kondisi ketika belanja negara lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara. Biasanya, defisit terjadi pada pertengahan atau akhir tahun, ketika kebutuhan belanja meningkat. Namun, pada 2025, defisit APBN sudah terjadi sejak awal tahun, menunjukkan adanya tekanan besar pada kondisi fiskal.Hingga 28 Februari 2025, defisit APBN telah mencapai Rp31,2 triliun atau sekitar 0,13 dari PDB. Ini adalah pertama kalinya sejak 2021 APBN mengalami defisit sejak awal tahun.
Pemerintah menyebut bahwa defisit ini disebabkan oleh penurunan harga komoditas utama seperti batu bara, minyak, dan nikel. Namun, faktor lain yang turut berkontribusi adalah kebijakan restitusi pajak yang besar serta masalah dalam penerapan Coretax.
Ketergantungan terhadap penerimaan dari komoditas yang fluktuatif membuat keuangan negara sangat rentan terhadap dinamika pasar global. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis untuk memperluas sumber penerimaan pajak dan mengoptimalkan belanja negara, maka kondisi ini dapat semakin memburuk dalam beberapa tahun ke depan.
Belanja Belum Maksimal
Salah satu tujuan utama dari pengelolaan APBN adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, meskipun anggaran belanja negara terus meningkat, dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat masih belum optimal.Beberapa permasalahan utama dalam belanja negara antara lain adalah pertama, ketimpangan alokasi anggaran. Sebagian besar anggaran masih terserap untuk belanja pegawai dan operasional birokrasi, sementara anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial masih terbatas.
Kedua, Inefisiensi proyek pemerintah. Banyak proyek infrastruktur yang berjalan lambat atau tidak tepat sasaran, sehingga tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Ketiga, Minimnya pengawasan dan transparansi. Masih terdapat banyak kasus penyalahgunaan anggaran dan kebocoran dalam pengelolaan dana negara.
Jika pemerintah ingin memastikan bahwa belanja negara benar-benar memberikan dampak nyata bagi rakyat, maka diperlukan reformasi dalam pengelolaan anggaran. Pengalokasian anggaran harus lebih transparan, efisien, dan fokus pada program-program yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi Kebijakan Fiskal
Sri Mulyani memang dikenal sebagai teknokrat yang memiliki rekam jejak mengesankan dalam menjaga stabilitas ekonomi. Namun, tantangan fiskal yang dihadapi Indonesia saat ini membutuhkan pendekatan baru yang lebih inovatif dan berorientasi pada kepentingan rakyat.Reformasi perpajakan harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk mempertimbangkan independensi DJP, memperbaiki sistem administrasi pajak, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, belanja negara harus lebih difokuskan pada program yang memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
Jika kebijakan fiskal yang diterapkan saat ini tidak mampu menjawab tantangan yang ada, maka evaluasi terhadap strategi pengelolaan keuangan negara harus menjadi prioritas. Indonesia tidak bisa terus berjalan dengan pola kebijakan yang sama jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan inklusif.
Langkah konkret dan keberanian dalam melakukan reformasi adalah kunci untuk memastikan stabilitas fiskal serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.