Post Chineseness dan Tahun Baru Imlek: Membangun Identitas Global dalam Bingkai Lokal

Post Chineseness dan Tahun Baru Imlek: Membangun Identitas Global dalam Bingkai Lokal

Nasional | sindonews | Rabu, 29 Januari 2025 - 03:41
share

Harryanto Aryodiguno, Ph.D Associate Professor International Relations Study Programs di President University, Indonesia

TAHUN Baru Imlek, yang dahulu hanya menjadi perayaan khas komunitas Tionghoa di wilayah tertentu dan perayaan tradisional di negara-negara Asia Timur yang masih menganut budaya Konfusianisme, seperti Jepang, Korea maupun Asia Tenggara, seperti Vietnam, kini telah bertransformasi menjadi salah satu perayaan dengan daya tarik global.

Dari Jakarta hingga New York, dari Hanoi hingga Kuala Lumpur, Eropa sampai Australia, gema budaya Imlek terdengar dan dirasakan, tidak hanya oleh komunitas Tionghoa tetapi juga oleh masyarakat lokal lintas budaya. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pengaruh budaya Tionghoa yang semakin meluas, tetapi juga membuka ruang analisis baru tentang bagaimana identitas Tionghoa, khususnya di Asia Tenggara, terus dibentuk dan ditafsirkan ulang. Di sinilah konsep Post. Chineseness () memainkan peran penting.

Tahun Baru Imlek: Simbol Globalisasi dan Identitas yang Fleksibel

Tahun Baru Imlek telah berkembang menjadi lebih dari sekadar perayaan tradisional, sekaligus menjadi simbol globalisasi budaya. Di negara seperti Indonesia, perayaan yang sempat dilarang selama era Orde Baru kini menjadi hari libur nasional dan dirayakan dengan berbagai cara, mulai dari bazar kuliner, atraksi barongsai, hingga dekorasi merah dan emas di pusat perbelanjaan.

Di Vietnam, Imlek (Tt) menjadi momen yang meriah untuk berkumpul bersama keluarga, sementara di Malaysia, tradisi Tahun baru Imlek pasti ada "Yee Sang" atau tradisi mengaduk salad yang menjadi simbol kebersamaan lintas etnis.

Namun, perayaan yang tampak seragam ini sebenarnya mencerminkan dinamika identitas yang unik di setiap tempat. Konsep Post Chineseness menunjukkan bahwa identitas Tionghoa tidak pernah bersifat tunggal atau homogen.

Identitas ini lebih merupakan hasil dari proses saling pengenalan atau saling memahami dan mempelajari (mutual recognition) di antara komunitas Tionghoa sendiri, dan juga dengan masyarakat lokal. Dengan kata lain, perayaan tahun baru Imlek adalah ruang di mana identitas Tionghoa terus dinegosiasikan, dirayakan, dan diredefinisi.

Post Chineseness: Melampaui Identitas Tionghoa Tradisional

Menurut teori Post Chineseness, identitas Tionghoa tidak lagi didefinisikan oleh nilai-nilai atau tradisi yang seragam, melainkan melalui proses saling mengakui dan menerima yang kontekstual. Di Indonesia, misalnya, identitas Tionghoa sering kali dipengaruhi oleh dinamika hubungan dengan masyarakat pribumi.

Di Vietnam, perubahan alfabet dari aksara Han ke huruf Latin memengaruhi cara komunitas Tionghoa mengekspresikan identitasnya, termasuk melalui bentuk tulisan pada dekorasi tahun baru Imlek. Semua ini menunjukkan bahwa identitas Tionghoa bersifat cair dan terikat maupun berbaur dengan konteks lokal.

Tahun Baru Imlek, sebagai simbol budaya, menjadi panggung di mana proses Post Chineseness ini terlihat jelas. Sementara orang Tionghoa di Malaysia mungkin menggunakan bahasa Melayu dalam ucapan selamat Tahun Baru Imlek, orang Tionghoa di Amerika Serikat mungkin mengintegrasikan elemen budaya pop lokal dalam perayaannya. Dalam setiap konteks, identitas Tionghoa direkonstruksi dengan cara yang menegaskan kesamaan sekaligus merayakan perbedaan.

Tahun Baru Imlek sebagai Alat Diplomasi Budaya

Fenomena penyebaran perayaan Tahun Baru Imlek juga memiliki dimensi geopolitik. Kebangkitan ekonomi dan pengaruh global China telah membawa perhatian internasional fokus budaya Tionghoa. Namun, ini juga memunculkan pertanyaan: apakah Tahun Baru Imlek yang dirayakan secara global masih mencerminkan nilai-nilai universal budaya Tionghoa, atau justru berkembang menjadi simbol diplomasi budaya yang bersifat inklusif?

Sebagai contoh, di Indonesia, perayaan Tahun baru Imlek kini tidak lagi terbatas pada masyarakat Tionghoa. Banyak masyarakat non-Tionghoa yang ikut berpartisipasi dalam festival, menghadiri bazar, atau sekadar menikmati libur nasional. Fenomena ini menunjukkan bahwa perayaan ini bukan hanya tentang memperingati tradisi, tetapi juga tentang membangun jembatan budaya dan meningkatkan saling pengertian.

Menuju Masa Depan: Tahun Baru Imlek dan Identitas yang Beragam

Dalam konteks Post Chineseness, Tahun Baru Imlek dapat dilihat sebagai simbol identitas global yang terus berkembang. Sementara komunitas Tionghoa menggunakan perayaan ini untuk menjaga warisan budaya, mereka juga membuka ruang bagi masyarakat lain untuk merayakan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa identitas tidak harus eksklusif; identitas itu bisa bersifat kolaboratif dan adaptif.

Namun, tantangan tetap ada. Bagaimana menjaga keaslian nilai-nilai budaya tahun baru Imlek di tengah arus globalisasi? Bagaimana menghindari komodifikasi budaya tanpa mengurangi daya tariknya? Di sinilah pentingnya melihat Tahun baru Imlek tidak hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai ruang dialog antarbudaya.

Kesimpulan

Imlek adalah contoh nyata bagaimana budaya tradisional dapat bertahan dan berkembang dalam era globalisasi. Dalam konsep Post Chineseness, Imlek tidak hanya merayakan identitas Tionghoa tetapi juga menawarkan ruang untuk saling pengertian dan kolaborasi lintas budaya. Ketika dunia semakin terhubung, Tahun Baru Imlek mengajarkan kita bahwa identitas tidak harus dibatasi oleh garis geografis atau etnis.

Sebaliknya, identitas adalah tentang bagaimana kita saling mengenal, merayakan perbedaan, dan menemukan nilai-nilai bersama. Dengan cara ini, Tahun Baru Imlek tidak hanya menjadi milik orang Tionghoa, tetapi juga menjadi warisan budaya yang dirayakan dunia.

Akhir kata penulis mengucapkan Selamat menyambut Tahun Baru Imlek, semoga dengan datangnya "Ular" sebagai penguasa tahun ini menjadikan rezeki kita berlimpah dan segala urusan lancar, segala harapan dan keinginan tercapai. Xin Nian Kuai Le

Topik Menarik