Strategi Pemberantasan Korupsi

Strategi Pemberantasan Korupsi

Nasional | sindonews | Kamis, 16 Januari 2025 - 11:44
share

Romli Atmasasmita

PEMBERANTASAN korupsi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1960 dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 24 Tahun 1960, kemudian dicabut dengan UU Nomor 3 Tahun 1971, diubah lagi dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Strategi pemberantasan korupsi era 1960-an sampai dengan era 1999-an dan 2001 mengutamakan pada penindakan/penjeraan dengan pengembalian kerugian negara, tidak pada strategi pencegahan.

Strategi penindakan tersebut masih mendahulukan proses penuntutan pidana daripada gugatan perdata. Jika ada ketentuan di dalam UU aquo, ketentuan itu pun hanya merupakan “escape-clause” jika proses penuntutan pidana mengalamin hambatan atau tidak dapat dilanjutkan sekalipun bukti kerugian negara telah ditemukan.

Escape clause dimaksud terdapat pada Pasal 32 ayat (1) UU aquo yang menyatakan: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Namun demikian, adanya ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 bukan mencerminkan strategi pemberantasan korupsi per se melainkan hanya merupakan celah hukum alternatif dari strategi penghukuman semata-mata.

Yang dimaksud dengan strategi pemberantaan korupsi dalam arti luas adalah meliputi strategi pencegahan, strategi penghukuman, dan strategi pemulihan aset korupsi. Situasi kondisi sosial masyarakat Indonesia kini dalam menghadapi korupsi berada pada puncak penghukuman dan sama sekali tidak pada pencegahan, begitu pula obsesi masyarakat luas. Kalaupun ada perampasan aset dalam proses penuntutan hanya merupakan upaya hukum melengkapi penghukuman.

Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption, 2003) dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 seharusnya telah mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999-diubah UU Nomor 20 Tahun 2001- harus memuat strategi baru dengan visi dan misi yang berbeda secara mendasar dengan strategi yang telah dianut dan dijalankan merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2001.

Perbedaan mendasar dimaksud adalah bahwa visi terbaru selain mengurangi angka kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 dan tingkat inflasi yang reatif rendah serta daya beli masyarakat yang lebih baik, juga misi pembaruan strategi pemberantasan korupsi 80 lebih mengutamakan pemulihan aset korupsi (asset recovery) kepada negara baik dalam konteks nasional maupun melalui kerja sama internasional.

Di samping perubahan visi dan misi tersebut, strategi baru pemberantasan korupsi menyasar kepada peningkatan disiplin dan sikap aparatur penyelenggara negara dan mencegah merebaknya kolusi dan nepotisme di samping korupsi. Visi dan misi tersebut dilaksanakan melalui kriminalisasi perbuatan penyelenggaraan negara yang secara melawan hukum telah menguntungkan diri sendiri (illicit enrichment), dan perbuatan memperdagangkan pengaruh dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial dan menguntungkan orang lain atau korporasi; metoda pembuktian terbalik (reversal of burden of proof).

Visi dan misi strategi pemberantasan korupsi tersebut diharapkan berhasil dilaksanakan dengan dimulai oleh kewajiban yang bersifat mandatory terhadap setiap aparatur penyelenggara negara untuk melaporkan penghasilannya (LHKPN) setiap tahun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Era pemerintahan Prabowo lima tahun yang akan datang, perlu dipertimbangkan agar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak dilaporkan kepada KPK, melainkan kepada Komisi Pencegahan Korupsi (KPK) yang akan dibentuk sesuai mandat Konvensi PBB Anti Korupsi 2003. Strategi pemberantasan korupsi pascaratifikasi UNCAC 2003 diwajibkan kepada setiap negara peratfikasi untuk membentuk Komisi Pencegahan Korupsi, di samping Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki tugas, wewenang dan fungsi berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK 2).

Tugas KPK 2 adalah memastikan kepatuhan, disiplin dan etika aparatur penyelenggara negara dilaksankaan dengan penuh tanggung jawab. Wewenang KPK 2 adalah memastikan setiap penyelenggara negara mematuhi kewajiban menyampaikan LHKP setiap tahun, dan melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap setiap LHKPN, dan melakukan penyelidikan terhadap aparatur penyelenggara negara yang telah terbukti tidak beritikad baik dalam menyampaikan isi LHKPN serta melaporkan hasil temuan kepada KPK 1.

Pembentukan KPK 2 diharapkan dapat meringankan beban KPK 1 dan pelaksanaan strategi pencegahan lebih fokus serta memastikan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; pelaksanaan strategi pencegahan yang efisien dan efektif diharapkan dapat mengurangki kuantitasi perkara korupsi yang ditangani KPK dan pada gilirannya juga akan mengurangi secar signfikan beban anggaran negara baik di KPK maupun di Lembaga Pemasyarakatan serta anggaran peradilan tipikor.

Berdasarkan uraian strategi pemberantasan korupsi dengan visi, misi, serta implementasi sedemikian diharapkan pemberantasan korupsi tidak lagi bersifat kontraproduktif dan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) serta perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa serta hak negara untuk melaksanakan penertiban dan penghukuman berjalan seimbang dan tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan terutama terhadap tersangka/terdakwa.

Topik Menarik