Menilik Untung dan Rugi Indonesia Gabung BRICS atau OECD

Menilik Untung dan Rugi Indonesia Gabung BRICS atau OECD

Terkini | sindonews | Jum'at, 25 Oktober 2024 - 21:58
share

Terlalu lama menimbang untuk bergabung di antara BRICS atau OECD, diyakini bisa menghadirkan skenario terburuk buat Indonesia. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyarankan, agar Indonesia segera memutuskan langkah kedepan.

"Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih dan memilah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yaitu bukan anggota keduanya. Kalaupun bergabung nantinya akan sangat terlambat dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya," terangnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Jumat (25/10/2024).

Baca Juga: Dolar AS Dipakai Sebagai Senjata, Amerika Buat Kesalahan Besar

Dikatakan Wijayanto, menjadi anggota blok negara-negara berkembang BRICS tidak harus diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (USD). Ia mencontohkan negara-negara seperti India, UEA (Uni Emirate Arab), Brazil dan Arab Saudi masih menjadi teman dekat Amerika Serikat meskipun mereka anggota BRICS.

Sebaliknya lanjutnya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia. Hal itu lantaran, OECD dan BRICS bukanlah blok yang rigid, sehingga masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerjasama.

"Dalam konteks ini, pertimbangan kita mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih," imbuhnya.

Wijayanto beranggapan, OECD jelas ingin mempertahankan status quo, dimana beberapa negara Barat ingin mendominasi ekonomi dunia termasuk yang berkaitan dengan sistem perdagangan dunia dan sistem moneter. Sebagai contoh, dolar AS menjadi reserve currency dunia dan WTO yang menjadi wadah.

Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu Dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti dolar AS (USD), seperti dipelopori oleh Rusia dan China.

Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara Barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri pasca konflik dengan Ukraina, yang membuat banyak negara cemas dan bertanya-tanya.

"Jika ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka. Hingga agenda yang lebih moderat, seperti kerjasama dagang dan pembentukan sistem pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, ide ini dimotori salah satunya oleh India," papar Wijayanto.

Ia menambahkan, kalau pun akhirnya Indonesia memutuskan bergabung dengan BRICS, maka idealnya Indonesia menjadi bagian moderat yang mendorong kerjasama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada dolar AS.

Apalagi, sistem moneter saat ini cenderung tidak sehat karena USD mewakili lebih dari 90 reserve dan mata uang perdagangan dunia. Selain itu, Amerika Serikat juga cenderung menyalahgunakan posisi itu dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh banknote yang mereka terbitkan.

"Idealnya US Dolar akan tetap menjadi mata uang penting, tetapi dunia perlu alternatif. Hal ini agar otoritas moneter dan Pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya," tegasnya.

Oleh sebab itu, Wijayanto menyampaikan bahwa skenario terbaik adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki, yang merupakan anggota OECD namun mendaftar menjadi anggota BRICS, karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi.

Kemudian skenario terbaik kedua adalah memilih salah satu. Namun apabila harus memilih, maka Indonesia harus memprioritaskan forum yang lebih menghargai posisi Indonesia. Indikatornya sederhana, yaitu yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat.

"Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan. The worst scenario adalah kita dalam posisi digantung; tidak menjadi bagian dari keduanya adalah, akibat kita ragu menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama dalam posisi ini dan harus segera diakhiri," pungkas Wijayanto.

Baca Juga: BRICS Melawan! Tegas Menolak Sanksi Ilegal Barat

Sebagai informasi, minat Indonesia bergabung BRICS ini terungkap dari penyampaian surat ketertarikan atau expression of interest oleh Menteri Luar Negeri Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia pada Kamis (24/10/2024).

Perlu diketahui, sejatinya pada 2023 lalu, Indonesia memang telah mendapatkan tawaran dari BRICS untuk bergabung. Namun saat itu, Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mengaku akan mengkaji lebih dahulu manfaatnya dan menyatakan tidak ingin tergesa-gesa dengan tawaran tersebut.

Topik Menarik