Kisah Rekonsiliasi Hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Berlibur ke Pantai Pasca Perang Bubat

Kisah Rekonsiliasi Hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Berlibur ke Pantai Pasca Perang Bubat

Infografis | sindonews | Senin, 7 Oktober 2024 - 09:07
share

Hayam Wuruk Raja Majapahit dan mahapatihnya Gajah Mada konon sempat memiliki hubungan buruk pasca Perang Bubat. Perang Bubat itu membuat rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi itu gagal dilaksanakan.

Tak hanya itu rombongan pernikahan dari Kerajaan Sunda juga tewas semuanya, termasuk kedua orang tua dari Dyah Pitaloka Citraresmi, serta para pejabat penting Kerajaan Sunda. Peperangan kala itu terjadi karena Gajah Mada ingin Sunda yang belum berhasil ditaklukkan Majapahit.Baca juga:24 Kombes Dimutasi dari Sejumlah Satuan di Mabes Polri ke Daerah, Ini Nama-namanya

Gajah Mada menganggap momen pernikahan atasannya dengan Raja Sunda menjadi jalan menaklukkan Kerajaan Sunda secara politis. Hal ini yang berimbas pada Gajah Mada dijadikan kambing hitam kegagalan pernikahan Hayam Wuruk.

Pasca Peristiwa Bubat itulah, konon Hayam Wuruk masih meneruskan tradisi blusukan ke wilayah kekuasaannya. Konon di blusukannya pasca Peristiwa Bubat itu diarahkan menuju timur ibu kota Kerajaan Majapahit.

Selain menyerap aspirasi masyarakatnya, Hayam Wuruk ingin memastikan keamanan wilayah kekuasaannya. Sebab wilayah Lamajang, yang dituju Raja Majapahit ini kerap kali dilanda peperangan dan ketidakstabilan keamanan serta politik. Konon kunjungan ketiga dilakukan sang raja Majapahit pasca Perang Bubat.

Konon saat kunjungan ini Gajah Mada yang sempat diistirahatkan pasca kesalahannya di Perang Bubat, turut mendampingi Hayam Wuruk dan rombongan kerajaan. Mansur Hidayat pada penjelasannya di buku "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru" dikutip, Senin (7/10/2024), kunjungan terjadi pada 1359 Masehi ke wilayah bekas Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

Selain dua pejabat utama yakni Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kunjungan ke Lamajang ini juga diikuti para menteri, tanda, pendeta, pujangga, abdi istana, dan dikawal ribuan pasukan. Rombongan besar ini melakukan kunjungan diplomasi yang sangat penting, karena merupakan wilayah yang kerap terjadi pergolakan.

Pada kunjungannya ini rombongan Kerajaan Majapahit memakan waktu tiga bulan dengan menelusuri wilayah timur ibu kota Majapahit. Rombongan lantas bergerak menuju Malang dan Pasuruan yang merupakan wilayah inti Kerajaan Majapahit.

Berturut-turut rombongan lantas melintasi Pawijungan yang diperkirakan di daerah Bantaran (Probolinggo selatan), yang kemudian menuruni Pesawahan (daerah Sawaran) dengan melintasi sawah dan kemudian menuju Jaladipa, Talapika, dan Padali yang saat ini bisa diidentifikasi menjadi daerah Ranu Bedali (Ranuyoso dan Klakah sekarang).

Kemudian melintasi Arnon (Biting/Kutorenon) yang merupakan ibu kota langsung menuju Panggulan (diperkirakan Panjunan atau Sukodono sekarang), hingga menuju Tepasena (diperkirakan Purwosono sekarang), dan menuju ke arah Kota Rembang, yang diperkirakan daerah Candipuro, di mana ini merupakan kompleks bekas ibu kota Lamajang di masa lebih kuno.

Rombongan Kerajaan Majapahit ini lantas meneruskan perjalanannya sambil blusukan ke rakyatnya. Rombongan pada akhirnya sampai di Dampar, yang terdapat di pinggir pantai. Di sinilah rombongan beristirahat cukup lama dengan santai sambil menikmati pemandangan indahnya pesisir pantai.

Baca juga:13 AKBP yang Dimutasi Kapolri ke Daerah Naik Pangkat Jadi Kombes, Ini Daftar Namanya

Dari Dampar ini rombongan berjalan ke arah Timur menuju Patunjungan (Desa Tunjungrejo, Kecamatan Yosowilangun) dan di Kasogatan Bajraka, yang termasuk wilayah Taladwaja di mana banyak penghuninya mengungsi akibat seringnya terjadi peperangan. Para warga ini memilih mengungsi, untuk menghindari kehadiran rombongan besar karena peperangan antara Majapahit dan Lamajang belum reda setelah berlangsung 43 tahun lamanya.

Topik Menarik