Spirit Bermain, Tragedi dan Kematian Jenaka

Spirit Bermain, Tragedi dan Kematian Jenaka

Nasional | sindonews | Minggu, 30 Juni 2024 - 09:14
share

CHARLIE Chaplinpernah berkata, "life is a tragedy when seen in close-up, but comedy in long-shot (hidup adalah sebuah tragedi jika dilihat dari jarak dekat, tapi komedi jika dilihat dari jarak jauh)".

Seniman Syakieb Sungkar melantunkan sebuah teater visual yang tragis namun jenaka, di pameran Provoke Jakarta!, di bulan Juni 2024. Membawa kita semangat, bermain sang seniman dengan imajinasinya tetang hasrat manusia menyantap lezatnya makanan junk food.

baca juga: Festival Vivid Sydney Hadirkan Pameran Seni Cahaya Menakjubkan

Kemudian apresian diajak rebah di tempat tidur, ditemani seonggok tengkorak, yang bisa saja simbol kerangka seseorang yang di masa hidupnya terjangkit obesitas, kemudian sakit diabetes dan berakhir menjemput kematian.

Sebuah karya seni berjuluk Tribute to Junk Food dengan instalasi tempat tidur mewah plus renda-renda putih menghias di sekeliling, tak lupa tengkorak bermateri resin serta patung dan lukisan dalam satu lokasi sungguh membangun narasi seloroh parodikal yang unik.

Instalasi itu mengonstruksi semangat mempermainkan dialog imajiner spasial tentang jasad tengkorak yang telentang tepat di tengah-tengah tempat tidur. Separuh menggelikan, sebab berbaur di sisi kanan dan kirinya sosok-sosok gemoy patung yang mungkin sepertinya diharapkan sebagai “penjaga” bagi kerangka itu.

Seterusnya ada dua lukisan yang diolah sedemikan rupa mendistorsi warna maupun anatominya yang asli dan familiar kita kenal di gerai-gerai makanan cepat saji terpajang di dinding. Jika kita amati, terlihat sebagian tubuh dua patung itu meleleh seolah lilin yang sedang mulai terbakar. Figur itu tak lain tak bukan, Kolonel Sanders (KFC) dan Ronald’s (McD).

Play Drive dan Dua Energi Pendorong

Dari teoritikus budaya dan filsuf Jerman, Friedrich Schiller, menimbang kondisi psikis alamiah manusia, dalam konteks easi ini adalah perupa Syakieb Sungkar dengan semangat bermainnya memberi ruang penjelas. Sejatinya Syakieb memiliki dua energi pendorong dalam menelaah fenomena budaya konsumerisme yang kemudian dimanifestasikan dengan obyek-obyek di karyanya.

Yang pertamaform drive, yakni pemahaman tentang kapabilitas intelektual untuk mendata, mengurai tiap elemen tentang konsep-konsep secara mate-matis, tentang apa itu kriteria makanan yang higienis dan kapan akan dikonsumsi atau sama sekali dihindari, demikian juga menimbang materi-materi teknis serta meriset dengan detail yang terkait dengan jenis-jenis makanan cepat saji.

“Syakieb cukup kerap memakan salad dan gado-gado dan berusaha menghindari makanan junk food untuk menghindari kegemukan, sakit dan kematian yang cepat. Menurutnya, orang memakan junk food itu karena adanya kecenderungan untuk memilih cara hidup yang serba cepat dan praktis. Sementara, makanan seperti gado-gado dan salad itu memerlukan waktu dalam pembuatannya,” ujar kurator pameran yang menjadi mitranya, Anna sungkar.

baca juga: Heboh, Pameran Seni Ini Pintu Masuknya 2 Model Telanjang

Yang kemudian, kita tak lupa bahwa karya seni membutuhkan sesuatu yang tak logis, yang Schiller menyebut konsep ke dua, yakni sense drive, sesuatu yang timbul naluriah dalam diri manusia. Syakieb memahami fenomena urban secara kritis, tak akan mengonsumsi makanan sembarangan.

Namun juga ia tak menampik, yang justru menjadi saksi mengapa orang-orang terpikat kelezatan makanan cepat saji sebagai emosi yang meletup secara agresif. Syakieb dalam pengalaman intim dirinya, yang dalam hal ini ia mengakuinya di sebuah diskusi di Post Bloc, Jakarta Pusat, di ruang pamer.

“Saya merasakan saat Covid-19 tak banyak bergerak dan keluar rumah. Masa dua tahun itu membuat saya menyukai mengonsumsi makanan instan dan merasakan berat badan berlebih, dan ini tanda bahaya. Dari sanalah saya terinspirasi membuat karya seni saya kali ini,” kata Syakieb.

Dua energi pendorong ini kemudian bersatu – form drive dan sense drive--yang menjadi energi kreatif sebagai disebut play drive dalam berkarya, dan Syakieb menemukan ide yang cerlang mengeksekusi karya Tribute to Junk Food. Schiller sangat terang mewejang bahwa manusia tak bisa meraih potensi terbesarnya tanpa dua kolaboratif energi pendorong tersebut.

Maka, meminjam tesis Schiller yang disebut sebagai play drive adalah totalitas Syakieb merasakan dirinya menjadi utuh sebagai manusia, benar-benar merasakan sensasi sepenuhnya saat ia berkarya dengan cara bermain-main.

Sama dengan Schiller, apa yang dikerjakan oleh perupa Syakieb sejurus pula dengan tesis sejarawan dan pengamat kebudayaan dari Belanda, Johan Huizinga dalam Homo Ludens atau Manusia yang Bermain, menyatakan bahwa sebuah kebermainan bukanlah seremeh sebuah main-main dalam ajang suatu permainan.

Sebenarnya, manusia pada saat mengonsentrasikan dirinya dengan “kebahagiaan melucu” pada sebuah permainan kreatif, taruhlah sebagai bentuk parodi dalam seni kontemporer, ia membentuk greget kekuatan wicara. Sang seniman mentransmisi pesan-pesan yang bisa jadi ujaran tersebut meski bermain-main menjadi serius, mengerucut pada tema-tema tertentu laiknya kisah separuh konyol namun menggelisahkan secara sosial.

Dari film awal abad ke-20 Charlie Caplin sampai karya-karya komikal Rowan Atkinson, yang kemudian tenar dengan Mr Bean-nya, kita merasakan ada sasaran kelucuan yang kemudian membuat masyarakat terhibur, meski menyisakan luka yang tertunda.

Tapi, sang seniman pencipta humor itu mengobatinya tanpa membuat marah siapapun. Charlie Caplin yang memparodikan Adolf Hitler maupun Mr Bean yang mengomedikan masyarakat “borjuis” Inggris, benar-benar sebuah komedi yang membuka borok-borok sosial.

Tragedi, Hasrat Kuasa dan Konsumsi

Karya instalasi milik Syakieb seperti segugus seremoni visual untuk menggedor kembali makna tentang tragedi di dunia modern dan sihir kolektif gaya hidup. Menjejak ulang ruang-ruang urban yang serba cepat serta peliknya kerangkeng hasrat manusia mengonsumsi benda-benda sebagai sebuah keniscayaan.

Gaya hidup menjadi lebih penting dari hidup itu sendiri, tak lagi milik golongan tertentu, namun telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manusia kota dan yang berbeda hanya pada bentuk pemuasannya, bukan pada intensitasnya.

Gejolak hasrat dan ketidaksadaran kolektif manusia tentu saja diperolok oleh karya instalasi Syakieb, dengan memanggungkan sebuah tragedi “kengerian namun elok secara visual”. Sebagai sebuah obyek, yakni tengkorak dan relasinya dengan imej-imej produk makanan cepat saji; yang menggugah justru kewarasan akal dan merasai betapa ringkih kita menjadi manusia?

Syakieb bermain-main dalam kode-kode, menyesatkan konsentrasi imajiner tak hanya pada “sekadar keindahan benda-benda” tentang ikon konsumerisme. Karyanya menggoda kita, McD dan KFC menerbangkan imaji-imaji abstraktif bentuk-bentuk dan teks-teks terbuka atas lambang kesempurnaan kemasan adalah sesuatu paling didamba pada abad ini yang dipasarkan demi mengompori hasrat.

baca juga: MNC Life dan Treasury Gelar Pameran Seni Art Jakarta Gardens 2024

Ia menemani kita, menggiring ironi di sana, keindahan, kecantikan, idealisasi atau kesempurnaan adalah impian-impian yang mewujud sebagai perangkat libidinal manusia untuk tidak mengatakan cukup. Tak menerima apa yang kita butuh, tapi meledakkan keinginan-keinginan berupa hasrat sebagai sebentuk kekuasaan mengonsumsi makanan yang tak terbatas.

Nietzche dan segudang cendekia Barat tak habis-habisnya mengeksplorasi tentang tak sekadar makna will to power, yakni kekuasaan untuk mengendalikan dirinya sebagai manusia bereksistensi. Namun, sebuah konstruk sosial tentang kekuasaan yang sengaja saling berelasi membangun dan dibangun melalui wacana, dan disebarkan oleh dan untuk masyarakat modern dari sekelompok manusia yang memiliki aset kekuasaan lebih unggul dalam politik dan ekonomi.

Kelindan antara produsen junk food, gaya hidup global yang cenderung homogen dan mesin hasrat konsumen bertemu pun diselebrasikan bersama-sama. Cendekia Rene Girard, yang mengamini penuntasan hasrat manusia di abad siber ini sebagai sebuah keinginan subversif mendasar tiap manusia, yang disebutnya konsep keinginan Mimesis -bahwa kita tidak hanya meniru perilaku orang lain tetapi juga keinginan itu sendiri menjadi pokok pangkal.

Bukan keinginan kita semata atas kemauan sang liyan, kita secara tak sadar menginginkan apa yang kita anggap juga diinginkan orang lain. Semacam hukum saling ketertarikan antarsubyek, yang akan menarik juga pihak selanjutnya.

Orang ketiga akan hadir dan segera menyusul membangun industri pornografi anak, menciptakan mitos kekayaan tentang uang Kripto, impresi kolosal keuntungan dasyat pada judi online dan sebuah fenomena ganjil kondisi distopik bumi di masa depan dll, yang viral via internet secara masif. Energi psikis manusia menduplikasi dan membayangkan hasrat sebagai fenomena internal antarsubyek yang terwujud mengglobal dan memaksa.

Di sisi lain, ujaran Kurator Pameran, Anna Sungkar patut direnungkan bahwa kekuasaan dalam konteks lain, secara laten digunakan sebagai sebuah strategi visual dari seniman Syakieb untuk memprovokasi apresian pameran berinteraksi secara intim dengan karya instalasi itu.

Anna menyebut bahwa kisah tragis bisa mewujud secara pelan membuai bahkan elok dan dekat dengan keseharian hidup. “Terjadi pembalikan image dalam karya ini, tempat tidur yang seharusnya menjadi tempat istirahat kemudian diubahnya menjadi kuburan. Syakieb menyadari bahwa karya ini seharusnya tidak menyeramkan namun sebaliknya menjadi lebih friendly dengan memberikan kesempatan pengunjung untuk duduk di sisi tempat tidur dan berfoto”.

Pop Art dan Kejenakaan Kematian

Sejak awal, dimensi pop art merengkuh pengertian banalitas tak terbatas, melebih-lebihkan kekosongan rohani orang-orang modern selain menciptakan kritik dalam dirinya sendiri tentang pemberhalaan objek-objek budaya populer yang sejatinya remeh temeh. Di lain hal, gejala ini menimbulkan justru mereproduksi ledakan makna atas konsep abstraksi kemakmuran, kejayaan pun kemewahan dalam industri seni dunia.

Karya seni Tribute to Junk Food dengan instalasi tempat tidur mewah berhias renda putih, tengkorak bermateri resin serta patung dan lukisan dalam satu lokasi sungguh membangun narasi seloroh parodikal yang unik. Foto-foto: Istimewa

Jeff Koons, seniman pop art paling ikonik dunia, dengan karya paling fenomenal Balloon Dog, secara eksplisit sengaja memanfaatkan kualitas material karyanya dengan menonjolkan berpendarnya pantulan lembut obyek minimalis yang menggembung, wujud balon yang ringan, sembari memanggungkan rasa mewah konstruksi polychromed aluminum.

“Karya saya sebenarnya artikulatif di permukaan, yang memiliki kemewahan visual. Dan tatkala menyatakan tentang kemewahan visual tak ada kata lain selain maksud untuk merayakan kegembiraan dari wujud atas sensualitas, refleksi, abstraksi, dan perubahan,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan majalah gaya hidup pada 2021.

Pada 2019, karya Koons, yakni Rabbit (1986), dengan patung kelinci yang menggembung dengan tinggi satu meter terbuat dari baja tahan karat, terjual lebih dari USD91 juta, di balai lelang Christie's. Ia memecahkan rekor karya seniman yang masih hidup untuk dirinya sendiri, yang terjual di lelang mengalahkan rekor karya David Hockney pada 2018.

Fenomena Koons sebagai misal, meneruskan warisan Warhol dan sederet pemuka pop art dari Barat adalah memang sebuah keniscayaan perayaan tentang kegembiraan dari abstraksi-abstraksi fenomena urban menyimbolkan dan menghiperbolikkan makna kesejahteraan dan kemajuan, kegembiraan yang semuanya bermuara pada kemewahan atas benda-benda.

Claes Oldenburg, seniman generasi Warhol yang tersisa di usia 93tahun; yang wafat pada 2022 silam direkam oleh media BBC dalam wawancara terdahulunya, selain pengakuannya tentang karya yang terinspirasi benda-benda keseharian, reporter mencatat:

“Seniman patung ini sendiri tak percaya akan ide-ide yang cenderung lugas bisa tercipta. Ia memilih membuat patung-patung raksasa, tertarik untuk menciptakan ide-ide yang bermain-main sekaligus jenaka tetapi menyisakan tampilan teki-teki dan sedikit keseraman,”

baca juga: Sambangi Pameran Seni Butet Kartaredjasa, Mahfud MD: Banyak Pesan Kemarahan soal Hukum

Sementara itu, satu saat, masih dalam skedul pamerannya di Provoke Jakarta!, Syakieb menyatakan bahwa karya seni niscaya berelasi dengan industri, apresian hadir di pameran kemudian tersentuh oleh ide dan gagasan seniman. “Saya membebaskan pengalaman-pengalaman internal mereka menafsirkan karya. Jika seterusnya ingin memiliki dan membawa pulang karya adalah sebentuk kebenaran personal yang diyakini oleh kolektor” katanya.

Tak hendak menyandingkan pada para seniman dunia yang melegenda itu dengan Syakieb, tapi jangan-jangan pernyataanya dalam wawancara, sebentuk kritik visualnya di patung-patung gemoy-nya, lukisan dan intalasinya yang secara parodikal dengan imbuhan kejenakaan tentang kematian adalah meminjam kredo dari tokoh-tokoh sejarah pop art dunia? Anda para apresian dan kolektor seni yang lebih tahu kelak.

Topik Menarik