UU Nomor 6 Tahun 2014: Masyarakat Berhak Mengawasi Kegiatan Desa, Termasuk Dana Desa
PEMALANG, iNewsPemalang.id - Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), organisasi independen yang fokus mengawal dan melawan isu korupsi, Desa menjadi sektor dengan kasus korupsi terbanyak.
ICW mencatat sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat.
Berdasar catatan ICW, pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, pada 2022, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.
Kerugian negara mencapai lebih dari Rp381 miliar. Praktik suap-menyuap dan pungli di sektor desa mencapai Rp2,7 miliar.
ICW menyebut, terdapat lima titik celah yang biasa dimanfaatkan aparat desa untuk mengorupsi dana desa, yaitu:
- Proses perencanaan,
- Proses perencanaan pelaksanaan (nepotisme dan tidak transparan),
- Proses pengadaan barang dan jasa dalam konteks penyaluran dan pengelolaan dana desa (mark up, fiktif, dan tidak transparan),
- Proses pertanggungjawaban (fiktif), dan
- Proses monitoring dan evaluasi (formalitas, administratif, dan telat deteksi korupsi).
Karena itu, partisiasi masyarakat dalam pengawasan dana desa sangat diperlukan. Masyarakat berhak meminta informasi di desa terkait pengelolaan keuangan desa.
Hal itu selaras dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, bertujuan melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik dan kesejahteraan umum, maka masyarakat berhak mengawasi pelayanan publik di desa termasuk pengelolaan keuangan desa.
Pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa dapat dilakukan dalam bentuk meminta informasi terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan lampirannya.
Masyarakat juga dapat melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan kualitas proyek-proyek yang dikerjakan dengan menggunakan dana desa, baik secara perorangan maupun melalui Badan Perwakilan Desa (BPD).
Pengawasan yang dilakukan masyarakat, menurut Ombudsman RI, hendaknya tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan desa.
Menurut Ombudsman RI, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat hakekatnya adalah dalam rangka perbaikan pelayanan pada masyarakat, agar pemerintah desa dipercaya masyarakat.
Karena itu, para kepala desa diharapkan tidak alergi terhadap pengawasan dana desa yang dilakukan oleh masyarakat. Tidak dibenarkan jika kemudian pihak desa berupaya membalas pengawasan warga tersebut dengan tidak melayani atau tindakan lain yang tidak dibenarkan undang-undang.
Ombudsman RI menegaskan, desa wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada masyarakat.
Ketentuan tentang masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa, diatur dalam Pasal 68 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Pada Pasal 68 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, juga diatur tentang peran serta masyarakat dalam mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
"Dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme serta memberikan informasi kepada masyarakat desa sebagaimana diatur Pasal 26 ayat (4) huruf (f) dan huruf (p)," jelas Ombudsman RI.