Perlunya Reformasi Kebijakan untuk Pertanggungjawaban Kerugian Masyarakat oleh Korupsi Pertamina

Perlunya Reformasi Kebijakan untuk Pertanggungjawaban Kerugian Masyarakat oleh Korupsi Pertamina

Nasional | okezone | Senin, 14 April 2025 - 23:20
share

PADA Februari 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan impor minyak yang melibatkan sederetan pemangku jabatan di PT. Pertamina Patra Niaga dan anak perusahaannya. Dalam ungkapan tersebut terdapat dugaan manipulasi volume dan harga impor minyak yang merugikan negara. 

Sejauh ini, Kejagung menetapkan sembilan orang sebagai tersangka yang 
berhubungan dengan impor minyak dari tahun 2018 hingga tahun 2023. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyampaikan pada Jumat, 28 Februari 2025, “Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun”. 

Total kerugian sebesar itu terhitung hanya pada tahun 2023 saja.  
Kasus ini menjerat Riva Siahaan (Direktur Utama PT. Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur PT Kilang Pertamina Internasional/KPI), Agus Purwono (Wakil Presiden PT KPI), serta empat pihak swasta termasuk Muhammad Kerry Adrianto Riza (pemilik PT Navigator Khatulistiwa) dan Dimas Werhaspati (Komisaris PT Jenggala Maritim). 

Pihak-pihak tersebut diduga bekerja sama mengutamakan impor minyak yang lebih mahal, walaupun produksi dalam negeri masih mampu mencukupi. Skema tindak pidana yang digunakan para pelaku tak hanya melanggar aturan prioritas minyak dalam negeri, tetapi juga mendorong kenaikan harga BBM dan pembengkakan subsidi APBN. 

Salah satu modus operandi yang dilakukan adalah tindakan Yoki Firnandi, selaku Direktur PT. Pertamina Shipping, yang menaikkan harga impor sebesar 13-15 yang menguntungkan broker seperti Muhammad Kerry Adrianto Riza. Riva Siahaan juga mengimpor Pertalite (RON 90) yang 
dicampur di depot untuk dijual sebagai Pertamax (RON 92). Kolusi dengan broker swasta, termasuk Dimas Werhaspati dan Gading Ramadan Joede, memperparah kerugian dari kasus tersebut. Modus tersebut dilaksanakan selama lima tahun dan jika dihitung menggunakan logika yang sama, total kerugian yang disebabkan Pertamina dapat mencapai Rp968,5 triliun atau 
sekitar Rp1 kuadriliun yang merupakan sebuah angka dengan nilai yang sulit dicerna. 

Tentunya, kerugian Rp1 kuadriliun adalah angka yang fantastis, kendati demikian kita masih harus fokus kepada pihak yang terdampak secara langsung, yaitu masyarakat Indonesia. Tanpa memandang kelas, ekonomi, maupun jabatan, seluruh masyarakat Indonesia terdampak kepalsuan dari BBM oplosan oleh Pertamina, terutama mayoritas luar pulau Jawa dengan masih bergantung kepada monopoli Pertamina sebagai penyedia BBM. Jutaan kendaraan yang bergantung kepada BBM dengan RON 92 terdampak langsung, belum lagi biaya lebih yang dikeluarkan oleh para konsumen yang tertipu oleh skema Pertamina. 

Menurut Dr. Ing Tri Yuswidjajanto Zaenuri dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), campuran bahan bakar yang tidak tepat dapat menyebabkan masalah pada mesin. Dr. Yus menyampaikan "Lima puluh persen RON 88 jika dicampur dengan lima puluh persen RON 92 akan menjadi RON 90, sementara lima puluh persen RON 90 jika dicampur dengan lima puluh persen RON 92 akan menjadi RON 91". 

Dr. Yus berpendapat mesin yang terdampak BBM oplosan tersebut berpotensi mengalami kerusakan yang tentu akan memakan tidak sedikit biaya yang harus ditanggung konsumen. Hal tersebut melanggar hak 
konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf d dan f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan hak kepada konsumen untuk diberikan kompensasi atas produk yang tidak sesuai dengan perjanjian. 

Namun sekali lagi, peraturan perundang-undangan Indonesia sangat terfokus pada pemulihan kerugian negara dan masih gagal dalam memenuhi pemulihan dan tanggung jawab atas kerugian masyarakat yang langsung terdampak. Pakar hukum dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Indonesia Muhamad Saleh menuturkan, "Dalam konteks kasus Pertamina, ada sisi lain selain negara, yaitu konsumen, yang bisa dimaknai sebagai korban tindak pidana korupsi atau korban pelanggaran yang dilakukan oleh aktor tertentu". 

 

CELIOS dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berusaha mengisi kekosongan hukum dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan mengadakan Pos Pengaduan Konsumen secara mandiri. Gerakan CELIOS dan LBH sudah mencerminkan inisiatif masyarakat sipil untuk membantu 
pihak-pihak yang dirugikan oleh Pertamina. Kedua lembaga tersebut sudah mempersiapkan gugatan class action mekanisme hukum di mana satu atau beberapa orang (perwakilan kelompok) mengajukan gugatan atas nama sekelompok orang yang memiliki kepentingan atau kerugian yang sama terhadap pihak tergugat untuk membantu masyarakat menuntut hak kepada Pertamina berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. 

Melalui mekanisme ini, masyarakat yang terdampak dapat menuntut keadilan secara kolektif tanpa harus mengajukan gugatan secara individu, sehingga lebih efisien, mengurangi beban biaya, serta memperkuat posisi mereka dalam menghadapi korporasi besar seperti Pertamina. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dasar hukum untuk kompensasi atas produk yang tidak sesuai dengan perjanjian, realisasi dalam kasus ini memiliki kecenderungan untuk menitikberatkan pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, sedangkan kerugian langsung yang diterima oleh para konsumen belum mendapatkan perhatian yang sebanding padahal. 

Konsumen lah yang secara langsung merasakan kerugian dari penurunan kualitas BBM yang berpotensi menyebabkan kerusakan mesin serta beban biaya perbaikan yang tinggi dan seharusnya mendapatkan mekanisme kompensasi yang efektif dan transparan sebagai bagian dari upaya penegakan keadilan. 

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada reformasi kebijakan. Pertama ruang lingkup kompensasi harus diperluas tidak hanya terhadap pemulihan kerugian negara, namun juga mempersiapkan ganti rugi kepada konsumen yang terdampak praktik oplosan BBM oleh Pertamina. Undang-Undang Perlindungan Konsumen perlu diperbarui dengan memberikan kepastian hukum dalam mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada konsumen atas tindak pidana korupsi agar dapat terciptanya sistem penanganan sengketa yang terintegrasi dan responsif. 

Langkah reformasi ini dapat menciptakan lingkungan usaha dan pelayanan publik yang lebih adil, transparan, dan akuntabel bagi seluruh lapisan masyarakat. 


Muhammad Balyan Fauzan Al Laduni,

Universitas Andalas, IISMA 2024 Awardee at University of Warsaw

Topik Menarik