Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital: Komunikasi sebagai Senjata Reputasi di Era Online

Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital: Komunikasi sebagai Senjata Reputasi di Era Online

Gaya Hidup | okezone | Minggu, 13 April 2025 - 09:18
share

DALAM era digital yang serba cepat dan transparan, krisis bisa datang dari mana saja dan menyebar dalam hitungan detik, terutama melalui media sosial. Komunikasi krisis, sebagai cabang dari ilmu komunikasi strategis, kini memainkan peran yang semakin penting bagi organisasi dan perusahaan. Keberhasilan dalam mengelola krisis tidak hanya ditentukan oleh kecepatan bertindak, tetapi juga oleh kecakapan dalam menyampaikan pesan yang empatik, jujur, dan strategis kepada publik. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa komunikasi krisis tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan konvensional semata, melainkan harus memanfaatkan teknologi digital, memahami dinamika opini publik online, dan menjadikan media sosial sebagai kanal utama pengelolaan informasi.

Onisa Zalukhu (2020) menekankan bahwa di era digital, media sosial telah menjadi tempat utama bagi publik untuk menyampaikan keluhan, protes, dan kritik. Keluhan konsumen yang dulunya bersifat privat kini dapat viral dan menjadi krisis reputasi dalam waktu singkat. Dalam kondisi ini, kecepatan respons dan keterbukaan organisasi menjadi sangat krusial. Menurut definisi Coombs (2007), krisis adalah “persepsi atas suatu kejadian tak terduga yang dapat mengganggu ekspektasi penting para pemangku kepentingan dan memberikan dampak serius bagi organisasi.” Artinya, krisis bersifat perseptual. Maka dari itu, bagaimana publik memahami suatu peristiwa jauh lebih penting ketimbang fakta teknis di baliknya.

Studi terbaru oleh Inas et al. (2024) mengenai oleh brand Mixue di Bangbarung Bogor menunjukkan bagaimana strategi komunikasi krisis dapat diterapkan secara efektif dalam menghadapi isu sensitif terkait kepercayaan publik—dalam hal ini, tidak terdaftarnya Mixue dalam sertifikasi halal MUI. Menggunakan pendekatan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari Coombs, Mixue menerapkan dua strategi utama: diminishment dan rebuild. Pada strategi diminishment, Mixue mengakui bahwa mereka memang belum memiliki sertifikat halal, namun memberikan klarifikasi bahwa 90 bahan baku mereka diimpor dari Tiongkok dan proses sertifikasi sedang berlangsung. Mereka menjelaskan hambatan administratif dan logistik, termasuk pandemi dan proses audit lintas negara. Strategi rebuild dijalankan melalui media sosial, edukasi konsumen lewat selebaran (flyer), dan komunikasi langsung oleh pemilik gerai. Walau Mixue tidak membentuk tim khusus komunikasi krisis, briefing internal dan penerapan etika layanan tetap dilaksanakan untuk menjaga kualitas interaksi dengan konsumen. Strategi ini terbukti menjaga loyalitas pelanggan, memulihkan kepercayaan, dan membatasi dampak negatif dari krisis yang sempat viral tersebut.

Reputasi merek adalah aset strategis yang sangat rentan saat krisis terjadi, sehingga peran komunikasi krisis menjadi krusial dalam mempertahankannya. Rizal et al. (2024) menekankan bahwa kejujuran, konsistensi pesan, dan penggunaan media yang tepat dapat menjaga persepsi publik tetap positif. Hal ini diperkuat oleh studi Calvin Jeconiah (2025) tentang Gojek, yang menunjukkan efektivitas strategi Public Relations dalam menghadapi pemogokan mitra, keluhan pelanggan, dan tekanan regulasi. Gojek memanfaatkan media sosial untuk merespons secara cepat, transparan, dan empatik, sembari menjalankan komunikasi internal yang solid agar seluruh pihak menyampaikan pesan yang seragam. Strategi berbasis empati dan komunikasi dua arah ini berhasil mempertahankan kepercayaan pelanggan dan loyalitas mitra, membuktikan bahwa reputasi merek di era digital tidak hanya dibentuk oleh produk, tetapi juga oleh cara perusahaan mengelola krisis secara terbuka dan strategis.

 

Dalam artikel Hafied dan Cangara (2024), ditegaskan bahwa komunikasi krisis juga memengaruhi cara publik membentuk opini dan mengambil keputusan. Komunikasi yang tidak hanya logis tetapi juga emosional mampu menciptakan rasa keterhubungan antara publik dan organisasi. Pesan yang disampaikan selama krisis harus memperhitungkan dimensi afektif publik, terutama generasi digital yang lebih peka terhadap nilai dan empati. Strategi ini dapat menciptakan hubungan yang lebih erat antara perusahaan dan konsumen, sekaligus mempercepat proses pemulihan reputasi.

Meskipun strategi komunikasi krisis telah banyak dikembangkan, tantangan tetap muncul dalam praktiknya. Pertama, penyebaran informasi palsu dan hoaks sangat cepat di media sosial. Kedua, resistensi internal dari karyawan terhadap perubahan seringkali tidak diantisipasi dengan baik. Ketiga, tidak semua organisasi memiliki protokol komunikasi yang siap digunakan ketika krisis terjadi. Oleh karena itu, perusahaan perlu memiliki sistem monitoring media sosial, pelatihan komunikasi untuk tim internal, serta perencanaan krisis yang diperbarui secara berkala. Komunikasi krisis bukan hanya tanggung jawab divisi PR, tetapi merupakan kewaspadaan kolektif seluruh organisasi.

Komunikasi krisis di era digital memerlukan strategi yang adaptif, transparan, dan berbasis teknologi. Dengan mengelola komunikasi secara cepat, empatik, dan berbasis data, perusahaan dapat tidak hanya meredam dampak negatif dari krisis, tetapi juga memperkuat reputasi jangka panjang. Studi kasus BukaLapak, kajian teori SCCT, serta pandangan para ahli menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi krisis sangat ditentukan oleh kesiapan strategi, kualitas kepemimpinan, dan keterlibatan publik yang aktif. Diperlukan sinergi antara teknologi, keahlian komunikasi, dan pemahaman terhadap audiens agar komunikasi krisis dapat dijadikan instrumen strategis dalam mempertahankan keberlanjutan organisasi.

Penulis: 

Bintang Ramasalsa Indrabudi

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi 

Universitas Pembangunan Negara Veteran Jakarta (UPNVJ)

Topik Menarik