Menteri LH Tegaskan Akan Gugat Produsen Penyumbang Sampah Terbesar
JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq merasa kecewa pada tindakan para produsen soal pengelolaan sampah. Ia menegaskan akan mengambil langkah hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ancaman serius ini dilontarkan Menteri Hanif saat melakukan peninjauan proses pemulihan sampah plastik di fasilitas yang dikelola oleh organisasi lingkungan Sungai Watch di Sukawati, Gianyar, Bali, pada Senin (24/3). “Kami akan tuntut. Datanya sudah konkret," kata Menteri Hanif.
Baru-baru ini, Sungai Watch merilis Brand Audit Report 2024 yang menempatkan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di perairan Indonesia.
Bahkan Sungai Watch dalam laporannya menyebutkan bahwa produk air minum kemasan tersebut selama empat tahun berturut-turut sebagai penyampah nomor satu.
Temuan ini didasarkan pada analisis terhadap 623.021 item sampah yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sungai, pantai, dan tempat pembuangan sampah di wilayah Bali dan Banyuwangi.
Hasilnya, produk air minum kemasan tersebut berada di posisi paling atas dengan kontribusi sampah sebanyak 36.826 item.
Sungai Watch juga menyorot pada kemasan produk tersebut yang dinilai masih menjadi kontributor signifikan terhadap pencemaran sungai. Padahal, perusahaan air minum kemasan tersebut kerap mengklaim memiliki berbagai inisiatif daur ulang.
"Perusahaan tersebut masih sangat bergantung pada kemasan plastik sekali pakai, dengan sebagian besar pencemaran berasal dari kemasan plastik, sebuah format yang masih sulit didaur ulang di Indonesia," kata Sungai Watch dalam laporannya.
Peringatan keras ini sejalan dengan penegasan Menteri Hanif. Ia menekankan bahwa produsen memiliki tanggung jawab untuk memastikan kemasan produk mereka mudah ditangani atau didaur ulang sesuai dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah.
Lebih lanjut, Menteri Hanif menjelaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup akan menindaklanjuti data dari LSM lingkungan seperti Sungai Watch dengan menerbitkan paksaan kepada produsen untuk membayar ganti rugi.
Langkah ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain tuntutan ganti rugi, skema pemulihan lingkungan yang terdampak juga menjadi opsi yang disiapkan.
Namun, jika kedua langkah tersebut tidak efektif, kementerian tidak akan ragu untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan, dengan sanksi pidana sebagai konsekuensi tambahan. "Sepertinya hampir di semua pengadilan kami tidak pernah kalah," tutur Menteri Hanif dengan optimis.
Laporan Sungai Watch juga mengkritisi adanya perbedaan antara komitmen yang disebutkan oleh perusahaan air minum kemasan tersebut dengan realita praktik di lapangan.
Meskipun perusahaan mengklaim bahwa seluruh kemasannya 100 persen bisa didaur ulang, fakta menunjukkan bahwa ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai masih sangat tinggi.
Akibatnya, sampah plastik berukuran kecil ini terus mencemari lingkungan karena sulit untuk dikumpulkan dan didaur ulang secara efektif. Laporan Sungai Watch mengungkapkan bahwa ketika perusahaan mengklaim akan mengurangi polusi plastik, publik mengharapkan aksi yang berarti, bukan perubahan yang menipu.
Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) kini menjadi ujian nyata bagi pemerintah. Penerapan yang tegas akan memaksa produsen perusahaan air minum kemasan untuk mengurangi ketergantungan pada kemasan plastik yang sulit didaur ulang atau bersiap menghadapi sanksi berat berupa ganti rugi hingga tuntutan pidana.