Titi Anggraini Sebut Kasus Harun Masiku Diawali Ketidakpatuhan Sistem PAW

Titi Anggraini Sebut Kasus Harun Masiku Diawali Ketidakpatuhan Sistem PAW

Nasional | okezone | Kamis, 26 Desember 2024 - 22:35
share

JAKARTA - Pakar Kepemiluan, Titi Anggraini mengungkapkan, bahwa kasus Harun Masiku diawali ketidakpatuhan sistem pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Periode 2019-2024. Persoalan ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip Pemilu proporsional terbuka yang mengutamakan suara terbanyak serta adanya indikasi favoritisme dari elite politik.

Titi menjelaskan, bahwa ada dua masalah di kasus Harun Masiku yakni pertama, adanya ketidakpatuhan pada sistem Pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak. Kedua adalah pemaksaan Calon Legislatif (Caleg) favorit elite.

“Yang pertama begini kasusnya berawal dari ada Caleg di Dapil 1 Sumsel yang meninggal dunia namanya Nazaruddin Kiemas ini adiknya Pak Taufik Kiemas. Seharusnya kan kalau ada caleg yang meninggal karena waktu itu meninggalnya kadung surat suara sudah dicetak. Jadi KPU membuat kebijakan suara yang diberikan kepada Nazaruddin Kiemas dianggap tetap sah tapi dihitung untuk suara partai sebagai bagian dari pembulat penentuan perolehan kursi,” kata Titi dalam dialog INTERUPSI dengan tema Sengketa Pilkada Belum Mulai, Elite Parpol Tersangka, Kamis (26/12/2024).

Titi pun mengatakan, ketika sudah ada hasil Pemilu, otomatis suara Nazaruddin Kiemas tidak bisa dihitung lagi. Sehingga, didapatkan data bahwa Caleg yang memperoleh suara terbanyak di Dapil Sumsel 1 yang bernama Rezki Aprilia. Sementara, Harun Masiku nomor urut 6 dari 8 Caleg.

“Tiba-tiba kemudian diajukan lah uji materi ke Mahkamah Agung, ada putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 intinya adalah Mahkamah Agung mengatakan sah suara dari Caleg yang meninggal dunia dihitung untuk suara partai,” katanya.

 

Kemudian, kata Titi, PDI Perjuangan tiga kali bersurat ke KPU agar menetapkan Harus Masiku sebagai Caleg terpilih. Dimana, surat yang pertama ditandatangani oleh Bambang Pacul dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Surat kedua ditandatangani oleh Yasonna Laoly dan Hasto. Selanjutnya, surat yang ketiga ditandatangani oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Hasto. Namun, KPU menolak permintaan tersebut karena bertentangan dengan sistem Pemilu.

“Kenapa saya bilang ini mengingkari sistem Pemilu? Karena yang diminta adalah agar KPU itu menentukan Caleg terpilih adalah bukan Rezki Aprilia yang memperoleh suara terbanyak melainkan Harun Masiku yang memperoleh suara terbanyak nomor 6 dari 8 caleg. Dan itu dibalas oleh KPU tidak bisa begitu, karena kalau sistem pemilu proporsional daftar terbuka suara terbanyak yang harus menjadi Caleg terpilih adalah Rezky Aprilia bukan Harun Masiku,” jelasnya.

Titi kembali menegaskan, bahwa dari sisi logika sistem Pemilu tidak mungkin Harun Masiku yang menjadi Caleg terpilih. 

“Kalau menetapkan Harun Masiku sebagai caleg terpilih maka KPU, satu sudah melanggar sistem Pemilu dan yang kedua KPU sudah melanggar etika sebagai penyelenggara Pemilu,” bebernya.

“Nah di situlah problemnya dari kasus Harun Masiku ini. Dari sisi Pemilu, satu tidak patuh pada sistem. Yang kedua ternyata memperlihatkan ada favoritisme dari elite terhadap Caleg dan mengabaikan suara dari rakyat. Karena kalau betul-betul mengikuti suara rakyat, sudah terang benderang yang jadi caleg terpilih itu Rezki Aprilia bukan Harun Masiku,” kata Titi.

“Nah pertanyaannya kalau soal motif, kenapa dipaksakan Harun Masiku? Sudahlah suaranya nomor 6 dari 8 itu yang kita tidak tahu,” pungkasnya.

Topik Menarik