Keberadaan Mangrove Bikin Kesejahteraan Warga Desa Tanjung Rejo Sumut Meningkat

Keberadaan Mangrove Bikin Kesejahteraan Warga Desa Tanjung Rejo Sumut Meningkat

Terkini | okezone | Senin, 2 Desember 2024 - 19:32
share

MEDAN - Keberadaan mangrove ternyata memberikan banyak manfaat langsung dan tidak langsung bagi masyarakat sekitar, baik dari aspek ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Pemeliharaan dan pengelolaan mangrove yang baik, sangat penting untuk memastikan keberlanjutan di masa depan.

Seperti di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, meskipun berada  di kawasan pesisir, masyarakat setempat mengandalkan kekayaan alam sebagai sumber penghasilan.

Kepala Desa Tanjung Rejo, Selamet membeberkan wilayahnya yang seluas 4.114 hektar itu terdapat lahan pertanian irigasi seluas 704 hektar, pertanian tadah hujan 600 hektar, hutan mangrove 600 hektar, dan tambak seluas 1.300 hektar. Salah satu mata pencaharian masyarakatnya yaitu mangrove, karena dapat membantu perekonomian.

Hal itu dikatakan Selamet saat media gathering Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan The World Bank. Kedua lembaga ini membuat program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR), sebuah aksi konservasi dan rehabilitasi mangrove.

“Terkait dengan potensi mangrove ada yang sudah keluar perhutanan sosial (PS) itu 83 hektar, dan saat ini yang memegang mandat SK-nya adalah KTH (Kelompok Tani Hutan) Bakti Nyata,” kata Selamet kepada wartawan, Senin (2/12/2024).

Lalu, sambung Selamet, pihaknya telah  membuat wisata mangrove di dalam hutan yang dikelola KTH Bakti Nyata. Lokasinya berada di Dusun 13 Pantai Mangrove Paluh Getah.

“Alhamdulillah yang mengelola wisata itu adalah badan usaha milik desa (Bumdes), dan Bumdes kami 2024 meraih juara satu Bumdes terbaik tingkat Kabupaten Deli Serdang,” katanya.

Kehadiran hutan mangrove di sana juga dimanfaatkan warga lokal untuk membuat Kelompok Sima Batik. Kelompok ini membuat tinta kain batik memakai akar mangrove yang sudah mati, dan dapat menghasilkan ragam warna.

“Ada 22 warna dari getah (yang dihasilkan lewat akar) mangrove itu sendiri yang dibuat untuk batik,” bebernya.

 

Tidak hanya itu, warga juga memanfaatkan buah dari tanaman mangrove untuk dijual ke pasar domestik. Mulai dari dodol, jus, selai, keripik mangrove dan sebagainya.

“Saat ini pohon mangrove itu belum berbuah. Kalau sudah musim buah, pohon berembang ini dagingnya (buah) inilah yang dapat diolah menjadi dodol mangrove dan selai mangrove,” tuturnya.

Menurutnya, potensi ekonomi masyarakat dari kelompok batik cukup besar. Untuk harga kain batik yang ditawarkan bervariasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

“Kalau harganya tinggal tengok kualitasnya, kalau kualitas yang bagus itu ada yang Rp 1,7 juta. Batik ini ada dua jenis, ada yang cap dan ada yang tulis, tapi kalau yang cap itu harganya Rp600 ribu,” ucapnya.

Kata dia, produksi kain batik di sini cukup lama hingga mencapai satu bulan hanya untuk satu potong kain sepanjang dua meter. Soalnya tinta yang digunakan adalah pewarna alami, sehingga proses pengeringannya membutuhkan waktu lima hari di musim kemarau.

Beda halnya dengan pewarna sintetis, hanya membutuhkan waktu tiga hari agar tinta kering. Proses pengeringan ini juga bisa molor apabila wilayah setempat dilanda musim hujan.

Sejauh ini, pangsa pasar dari produk yang dihasilkan warga dari mangrove masih sebatas domestik. Pemdes Tanjung Rejo tengah mengupayakan kembali, agar pangsa pasar kerajinan tangan warga setempat bisa kembali mendunia.

“Sekarang pasarnya masih lokal, dulu memang ada dari luar negeri seperti Australia dan Amerika Serikat tapi ini tidak berlanjut. Dulu kami ada kerja sama dengan Yayasan Gajah Sumatera dan kerja sama ini sudah habis, dan kami akan tindaklanjuti lagi. Kerja sama itu dari tahun 2013 sampai 2023,” pungkasnya.

Perlu diketahui, Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) adalah program konservasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan World Bank. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi ribuan hektar mangrove yang terdegradasi di empat fokus lokasi, yakni di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Langkah ini dilakukan demi memperkuat ketahanan pesisir, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain berfokus pada pemulihan ekosistem mangrove, M4CR juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal melalui berbagai program berkelanjutan yang melibatkan masyarakat, seperti ekowisata, produksi kuliner lokal dan pelatihan pengelolaan sumber daya alam.

Program ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam aksi iklim global dan bertujuan untuk mengurangi kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana alam melalui pendekatan konservasi yang terpadu. Melalui kolaborasi antara Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) serta Kementerian Koordinator Bidang Pangan.

Topik Menarik