Generasi Copy Paste, Tantangan Pendidik di Era Digital

Generasi Copy Paste, Tantangan Pendidik di Era Digital

Terkini | okezone | Selasa, 26 November 2024 - 09:26
share

JAKARTA – Salah seorang pendidik di kampus menyatakan ada salah satu mahasiswa yang mengungkapkan terkait penulisan.

‘‘Maaf Ibu, saya tidak dapat menulis bagus, jadi saya menggunakan Chat GPT untuk membuat makalah. Supaya tidak kedeteksi AI, apakah saya harus parafrase kalimatnya?,“ Pertanyaan yang membuat saya berpikir untuk menjawab. 
Dikarenakan menuliskan kembali kalimat dari Chat GPT tersebut, sama juga dengan tidak melatih kemampuan berpikir kritis peserta didik. Ide utama sudah diciptakan oleh Chat GPT, sementara ia tinggal copy paste (copas) dan mengganti kalimat dengan isi serupa.

Seorang filsuf modern ternama Perancis abad ke-17 (tahun 1596-1650), Rene Descartes, pernah mengungkapkan ‘Cogito Ergo Sum‘ atau ‘I think, therefore I am‘ atau dalam bahasa Indonesia ‘Aku berpikir maka aku ada‘. Keberadaan utuh seseorang (body) diakui karena kemampuan berpikirnya (mind).  
Namun dengan perkembangan teknologi internet sehingga memunculkan berbagai media digital, pemaknaan tersebut bergeser menjadi ‘I click, therefore I am’ atau ‘Saya mengklik, maka saya ada‘. Salah satunya adalah klik copy dan klik paste kalimat. Keberadaan seseorang dilihat dari kemampuan kliknya. Sehingga, manusia (body) tidak lagi ditentukan dari cara berpikirnya (mind). 


Situasi ini akan terus ada, sejalan dengan perkembangan teknologi. Maka, kemampuan berpikir kritis manusia perlu dilatih. Banyak definisi dari berpikir kritis, salah satunya adalah kemampuan berpikir untuk menilai secara reflektif terhadap apa yang harus dilakukan dan dipercaya. Kemampuan reflektif ini bukanlah talenta yang datang dari surga, namun keterampilan yang perlu dilatih terus-menerus. Peserta didik membutuhkan sistem pendukung dalam melatih ini. Dimulai dari lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga, teman, hingga lingkungan sekolah atau universitas. 

Proses pendidikan menjadi salah satu harapan dalam membangun kemampuan kognitif manusia, termasuk kemampuan sosial dan emosional. Maka, konsep etika berinternet perlu terus diperkenalkan kepada peserta didik. Etika adalah pedoman tata cara, kebiasaan, dan budaya yang pantas dan tidak pantas yang disepakati oleh sekelompok masyarakat. 

Maka, dalam dunia digital terdapat istilah netiket, berasal dari kata internet atau network dan etiket, yaitu tata krama dalam menggunakan internet sebagai alat komunikasi atau pertukaran data. 

Bentuk tata krama di dunia maya ini menekankan pada kebebasan individu untuk berpikir, menghormati hak pribadi orang lain, selalu bertujuan untuk membangun hubungan sosial yang baik, mampu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul, dan memberikan informasi yang membuat orang lain bertumbuh lebih baik. 

Sehingga, dalam rangka mendukung sistem bagi peserta didik melatih kemampuan berpikir kritis, pendidik dapat menerapkan beberapa bentuk pembelajaran dalam rangka membangun kebiasan baik di dunia maya. Seperti, mendisiplinkan diri peserta didik dalam proses belajar, misalnya membuat aturan yang wajar dalam memagari etika mengerjakan tugas yang mengambil sumber referensi dari internet. Lalu, menciptakan proses belajar yang menarik bagi mereka untuk berpikir, misalnya, dengan memberikan studi kasus, berdiskusi, dan memberikan pertanyaan yang membuat mereka berpikir mandiri. 

Terakhir, memancing mereka untuk berpikir kreatif daripada berpikir plagiat. Maka, perlu untuk dikenalkan tengan konsep copyright, atau hak cipta. Bahwa setiap orang yang menghasilkan karya melalui kemampuan berpikir, maka karya tersebut melekat pada individu pencipta. Sehingga, peserta didik diajarkan untuk selalu mencantumkan sumber, atau bahkan jika mereka menghasilkan karya otentik sesuai hasil pikiran sendiri tanpa copy paste, maka mereka memiliki hak cipta atas karya.

Netiket ini perlu selalu diajarkan kepada peserta didik, dalam rangka memperkenalkan panduan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dunia internet. Sehingga, kemampuan berpikir reflektif peserta didik akan terus diasah, dan harapannya menjadi kebiasaan hingga membangun karakter berpikir yang kritis. 
Mari kita terus suarakan bahwa karya dengan pikiran akan membentuk keberadaan manusia, daripada dengan mesin.

Oleh: Lisa Esti Puji Hartanti

Dosen Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya 

Topik Menarik