Sidang Korupsi, Saksi Eks Dirjen Minerba Jelaskan soal Kepemilikan Timah dalam IUP

Sidang Korupsi, Saksi Eks Dirjen Minerba Jelaskan soal Kepemilikan Timah dalam IUP

Nasional | okezone | Jum'at, 1 November 2024 - 20:32
share

JAKARTA - Sidang lanjutan dugaan kasus korupsi timah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan terdakwa Helena, Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan MB Gunawan digelar pada Kamis 31 Oktober 2024. Sidang menghadirkan saksi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2015-2020, Bambang Gatot Ariyono.

Dalam persidangan, Bambang mengungkapkan bijih timah yang ada di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah belum menjadi milik PT Timah kalau royalti belum dibayarkan. Hal itu diungkapkan saat Penasihat Hukum (PH) terdakwa Riza menanyakan Pasal 92 Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba perihal kepemilikan mineral.

Di mana, dalam pasal tersebut dikatakan, pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi setelah memenuhi iuran produksi. 

"Dalam hal bijih timah yang diperoleh oleh masyarakat penambang, kemudian iuran produksi atau royalti itu belum dibayarkan. Apakah pada saat itu mineral atau bijih timah sudah menjadi milik PT Timah," tanya penasehat hukum Riza kepada Bambang.

"Belum (memiliki), kalau belum bayar royalti. Pemindahan kepemilikan berdasarkan Pasal 33 di UU Minerba adalah pembayaran royalti kepada negara," jawab Bambang yang menegaskan, bahwa bijih timah di IUP PT Timah yang belum dibayarkan iuran produksinya bukan milik PT Timah.

Pada 2018 dan 2019 saat terjadi kerja sama PT Timah dengan smelter swasta telah memberikan kontribusi kepada negara. Nilainya, masing-masing Rp818 miliar dan Rp1,198 triliun. Pembayaran royalti ke negara, kata Bambang harus dilakukan oleh perusahaan yang legal dan berbadan hukum.

"Kalau bayar royalti, bayar pajak itu kan mesti ada nomor NPWP-nya.
Berarti itu dari legal, harus berbadan hukum dan legal. Kalau ilegal tidak pernah bayar royalti," imbuhnya.

 

Kerugian negara senilai Rp26,649 triliun atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah tidak sejalan dengan penjelasan yang disampaikan Bambang. Sebab, bijih timah yang dimaksud belum menjadi milik PT Timah.

Sementara Riza sempat mengungkapkan, bahwa pembelian bijih timah kepada mitranya Rp 26,649 triliun menghasilkan pendapatan dua kali lipat. Pembelian bijih timah dari 2015-2022 senilai Rp26,649 triliun yang disebutkan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ternyata menjadi pendapatan perusahaan kurang lebih Rp50 triliun lewat penjualan logam timah.

"Kalau kita lihat dari seluruh perolehan bijih Timah dari 2015 sampai 2022, itu semua sudah diproduksi jadi logam. Logam itu sudah dijual dan pendapatannya itu kalau tidak salah 50 triliun," ujar Riza.

Topik Menarik