Kisah Heroik Letkol Sintong Panjaitan Pimpin Penyelamatan pesawat Garuda Dalam Keadaan Patah Kaki
JAKARTA - Kisah heroik Letkol Sintong Panjaitan pimpin penyelamatan pesawat Garuda dalam keadaan patah kaki, akan diulas lengkap dalam artikel ini. Diketahui, peristiwa pembajakan pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia atau disebut juga Woyla , terjadi pada 28-31 Maret 1981.
Saat itu, informasi pembajakan Garuda Woyla di Thailand diterima Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Kabar ini kemudian disampaikan ke Panglima ABRI, Jenderal M Yusuf dan Asintel Hankam Letjen Benny Moerdani.
Jenderal M Yusuf dan Letjen Benny saat itu sedang berada di Ambon dalam rangka latihan gabungan ABRI. Yusuf lalu memerintahkan Benny untuk mengatasi pembajakan pesawat Garuda Woyla. Dia juga meminta Danjen Kopassus Brigjen Yogi S Memet, untuk mempersiapkan pasukan.
Secara cepat, Yogi menghubungi markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), sekarang menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Cijantung.
Sintong sempat menjalani perawatan selama 2 minggu di RSPAD Gatot Subroto. Setelah dinyatakan membaik, Sintong diperbolehkan pulang. Kondisinya belum pulih benar, kakinya masih sulit berjalan normal.
Dia harus menggunakan dua tongkat penyangga untuk berjalan. Namun karena dia diberi kepercayaan untuk memimpin operasi, Sintong tidak memperdulikan kondisi kakinya.
Melansir DC Channel, Letkol Sintong segera membentuk grup antiteror dari grup 4 Sandhi Yudha Kopassus yang berjumlah 30 orang.
Sementara Benny Moerdani dari Ambon segera terbang di Jakarta. Saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, dia bersama Sudomo menghadap Presiden Soeharto.
Benny menyampaikan ke Soeharto untuk mengambil opsi militer dalam mengatasi pembajakan. Selanjutnya pada, Minggu 29 Maret 1981 malam, Benny dan pasukan antiteror bersiap berangkat ke Thailand.
Sebelum berangkat, Benny inspeksi pasukan. Saat inspeksi, dilihatnya pasukan menggunakan senjata serbu jenis M16 A1. Benny mengatakan, kalau senjata M16 ditembakkan ke dalam pesawat, bisa meledak pesawat itu. Karena itu Benny memerintahkan untuk mengganti senapan serbu heads and key MP5 kaliber dua 9 mm buatan Jerman.
Namun, pasukan tersebut belum ada yang pernah memegang senjata tersebut. Hal ini tentu saja berbahaya, karena belum tahu cara mengoperasikan senjata baru itu. Karenanya Sintong memandang, setiap senjata baru harus diuji coba dulu. Oleh sebab itu Sintong menolak saat pasukannya harus mengganti senjatanya dengan MP5.
Kendati demikian, Benny tegas untuk memerintahkan mengganti senjata itu. Alhasil, Sintong meminta waktu kepada Benny untuk pasukannya berlatih senjata MP5. Saat pasukan berlatih, ternyata benar senjata MP5 tersebut macet. Padahal senjata ini yang dipakai dalam pembebasan sandera pesawat Jerman di Somalia. Ternyata diketahui, bahwa peluru yang dipakai sudah kedaluwarsa.
Benny pun memerintahkan Letkol Kuntara untuk mengambil peluru baru di kantornya. Benar saja, begitu diganti pelurunya dengan yang baru, senjata bisa digunakan. Segera mereka langsung terbang ke Thailand. Setelah sampai di Thailand, pasukan Sintong segera berlatih membebaskan sandera.
Sementara Benny melobi pemerintah Thailand untuk meminta izin operasi pembebasan sandera. Awalnya pemerintah Thailand menolaknya, namun dengan diplomasi Benny dan atas dorongan Presiden Soeharto, pemerintah Thailand akhirnya mengizinkan pasukan Sintong untuk menggelar operasi militer.
Rencana pasukan antiteror Kopassus melakukan penyerbuan ke dalam pesawat pada pukul 4 subuh. Benny beranggapan pada jam tersebut para pembajak pasti sudah bangun dari tidurnya.
Rencana penyerbuan dimajukan menjadi pukul 3, di mana para pembajak diperkirakan masih terlelap. Kemudian saat waktunya tiba, pasukan Kopassus bergerak dari arah belakang pesawat, di mana Benny tiba-tiba ikut masuk dalam pasukan dan ini di luar skenario. Pasukan selanjutnya menuju pintu depan pesawat sebelah kiri.
Dalam peristiwa pembebasan sandera tersebut, terjadi kontak tembak. Anggota tim Antiteror Calon Perwira Letnan Ahmad Kirang yang masuk ke pesawat lewat pintu belakang terkena tembakan pembajak.
Tembakan itu tepat mengenai perut bawah Kirang yang tak terlindungi rompi antipeluru. Dia pun tersungkur. Di saat tembak menembak terjadi, pilot Herman Rante terkena tembakan dari pembajak tepat di kepalanya.
Dalam operasi ini, pihak pembajak yang berjumlah 5 orang semuanya tewas. Sementara dari pihak Kopassus kehilangan satu prajurit, yakni Letnan Ahmad Kirang. Pilot Herman Rante juga meninggal, setelah menjalani perawatan selama 6 hari di rumah sakit Thailand.