Korupsi Timah, Pakar Hukum Soroti Potensi Overpenalization Terkait Gugatan ke MK

Korupsi Timah, Pakar Hukum Soroti Potensi Overpenalization Terkait Gugatan ke MK

Nasional | okezone | Jum'at, 14 Maret 2025 - 16:37
share

JAKARTA – PT Timah Tbk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut mengatur kewajiban mengganti kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.

Ketentuan dalam pasal tersebut perlu diubah menurut PT Timah. Sehingga pembayaran uang pengganti tidak hanya dihitung berdasarkan nilai harta yang diperoleh melalui tindak pidana, namun mencakup kerugian keuangan negara dan/atau kerugian ekonomi yang timbul akibat tindak pidana tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menilai dapat terjadi potensi “overpenalization” atau penerapan hukuman yang berlebihan terhadap terdakwa. jika MK menerima gugatan dan memutuskan untuk mengubah pasal tersebut.

"Karena pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri akan double atau triple dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain (baik itu orang maupun korporasi, red) yang juga mendapatkan penambahan kekayaan karena korupsi dimaksud,” ujar Chairul Huda dalam keterangannnya, Jumat (14/3/2025).

Ia menambahkan, dalam kasus korupsi yang melibatkan PT Timah, angka kerugian negara yang disebutkan sebesar Rp300 triliun tidak bisa dianggap sebagai angka yang realistis. Menurutnya, kerugian tersebut sebagai potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan, bukan kerugian keuangan negara yang riil.

“Mengambil contoh kasus PT Timah sama sekali tidak tepat, karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut bukan kerugian keuangan negara, tapi potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan,” tuturnya.

Selain itu, Chairul juga mengkritisi praktek eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah. Menurutnya, pihak yang lebih banyak mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut adalah PT Timah. 

 

Oleh karena itu, sanksi seharusnya dijatuhkan kepada PT Timah, tetapi melalui undang-undang yang lebih relevan, seperti UU Minerba atau UU Lingkungan, bukan UU Tipikor. “Justru PT Timah yang harus disanksi pidana, dengan UU Minerba dan UU lingkungan, bukan UU Tipikor,” katanya.

PT Timah diketahui mengajukan permohonan kepada MK pada 3 Maret 2025, yang meminta perubahan pada Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor. Pasal ini mengatur bahwa pembayaran uang pengganti harus dihitung sebanyak-banyaknya berdasarkan jumlah harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

PT Timah meminta agar pasal tersebut diubah dengan rumusan yang menyatakan, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi.”

Permohonan diajukan berkaitan dengan kasus timah ilegal yang melibatkan Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya yang kini sedang dalam proses banding. Dalam putusan banding tersebut, kerugian negara dihitung sebesar Rp300 triliun, yang terdiri dari kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal Rp271 triliun, serta kerugian terkait penggunaan alat pelogaman timah tak sesuai ketentuan.

Pasal 18 Ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor dianggap PT Timah tidak adil, karena tidak mempertimbangkan kerugian ekonomi negara dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Mereka berpendapat bahwa penerapan pasal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para terdakwa.

“Akibat penerapan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor tersebut menjadi tidak adanya keadilan dan kepastian hukum karena para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP Pemohon I sebesar Rp271.069.688.018.700,00,” demikian gugatannya.

Topik Menarik