Cancel Culture dan Komunikasi Krisis di Era Digital Pascanarasi Viral

Cancel Culture dan Komunikasi Krisis di Era Digital Pascanarasi Viral

Nasional | sindonews | Jum'at, 14 Maret 2025 - 08:05
share

Nugroho Agung PrasetyoDosen Komunikasi Universitas Bakrie Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia

BEBERAPA waktu belakangan ini, sejumlah lembaga pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sorotan publik. Sorotan ini tidak lepas dari pemberitaan media serta derasnya arus informasi di media sosial yang mengungkap berbagai skandal dan penyimpangan. Fenomena ini berpotensi mengikis rasa aman serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Kasus dugaan bensin oplosan atau blending di Pertamina yang menyebabkan dugaan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun, misalnya, memicu gelombang reaksi negatif yang meluas di media sosial. Tagar seperti #BoikotPertamina dan seruan pindah ke BBM swasta mencerminkan tekanan publik yang menuntut transparansi dan audit dalam sistem distribusi bahan bakar.

Demikian pula skandal emas palsu dan penggunaan cap ilegal oleh PT Antam yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 3,3 triliun. Kejadian ini merusak kepercayaan publik terhadap emas logam mulia produksi BUMN, memicu seruan boikot, dan menurunkan kredibilitas perusahaan, bahkan setelah dilakukan klarifikasi.

Kasus lain yang turut mengguncang kepercayaan publik adalah isu pengelolaan dana investasi oleh Danantara, yang berujung pada seruan penarikan dana dari bank-bank BUMN. Tagar boikot kembali mencuat, menandakan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap proyek investasi yang dikelola negara. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini dapat membahayakan likuiditas lembaga keuangan pemerintah, meskipun secara fundamental masih sehat.

Fenomena cancel culture kini tidak hanya menyasar figur publik atau perusahaan swasta, tetapi juga meluas ke institusi negara, termasuk BUMN. Dalam konteks ini, cancel culture muncul sebagai reaksi kolektif masyarakat terhadap dugaan penyimpangan atau ketidaktransparanan lembaga negara.

Publik menggunakan kekuatan digital untuk menekan perusahaan atau institusi yang dianggap bermasalah, dengan seruan boikot hingga penghapusan pengaruh mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Cancel culture merupakan bentuk pengucilan sosial (social ostracism) terhadap individu, kelompok, atau institusi yang dianggap melakukan pelanggaran moral, etika, atau hukum. Aksi ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti boikot terhadap produk atau layanan, tekanan sosial di media sosial, petisi daring, hingga penyebaran informasi negatif secara masif.

Menurut studi Pew Research Center (2023), 58 orang Amerika setuju bahwa cancel culture adalah cara efektif untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan dan tokoh publik, sementara 65 pengguna media sosial pernah menyaksikan kampanye cancel culture di platform seperti Twitter dan TikTok.

Cancel culture biasanya bermula dari terungkapnya isu atau skandal melalui investigasi media atau unggahan viral. Gelombang kritik yang diiringi tagar viral, dapat berdampak signifikan terhadap citra perusahaan. Dampak yang ditimbulkan bisa berupa penurunan penjualan, anjloknya harga saham, pemecatan eksekutif, hingga tekanan untuk melakukan perubahan sistemik dalam perusahaan atau institusi.

Cancel culture kini berkembang menjadi alat kekuasaan publik yang dapat menghancurkan reputasi dalam hitungan jam. Satu kesalahan yang viral di media sosial bisa menghancurkan citra yang telah dibangun bertahun-tahun. Seperti yang dikatakan Warren Buffett: "It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you'll do things differently."

Dalam konteks bisnis dan institusi negara, cancel culture dapat mengakibatkan dampak serius seperti penurunan saham, hilangnya pelanggan, serta berkurangnya kepercayaan investor. Lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan publik, cancel culture adalah bentuk krisis reputasi yang harus ditangani dengan strategi komunikasi yang tepat.

Sebelum era digital, krisis reputasi berkembang dalam hitungan minggu atau bulan. Kini, cukup satu tweet viral atau unggahan di TikTok untuk menghancurkan citra dalam hitungan jam. Publik sering kali bereaksi emosional sebelum memverifikasi fakta, sehingga klarifikasi yang terlambat atau kurang meyakinkan sering kali tidak efektif.

Pemerintah dan BUMN tidak bisa hanya mengandalkan klarifikasi sepihak untuk menghadapi cancel culture. Salah satu pendekatan yang paling relevan adalah Situational Crisis Communication Theory (SCCT) oleh W. Timothy Coombs.

Dalam teori ini, skandal seperti korupsi dan penyimpangan masuk dalam kategori Preventable Cluster, di mana organisasi dianggap sebagai penyebab utama krisis. Oleh karena itu, strategi komunikasi krisis harus fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan tindakan nyata.

Dalam menghadapi krisis semacam ini, ada beberapa elemen kunci yang harus dilakukan. Mengambil tanggung jawab menjadi langkah penting untuk menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat yang terdampak.

Pembelajaraan cancel culture juga harus disikapi secara strategis dengan melakukan litigasi dan mitigasi memperbaiki situasi, bukan sekadar janji. Melakukan reformasi kebijakan untuk mencegah kejadian serupa dapat menjadi langkah nyata janji perbaikan kepada publik.

Setiap kesalahan tentu secara bijak harus disikapi secara bertanggung jawab dengan permintaan maaf yang tulus dengan narasi yang bernada empatik untuk menunjukkan kepedulian terhadap dampak yang terjadi, serta tidak ambigu atau defensif. Tindakan nyata dan tegas tentu menjadi hal yang ditunggu publik untuk menciptakan rasa keadilan. Hal tersebut tentu dilakukan secara transparan, dan menghadirkan pihak berkompeten yang mendapatkan pengakuan masyarakat.

Cancel culture dalam konteks BUMN bukan sekadar ancaman, tetapi juga bisa menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola perusahaan dan meningkatkan kepercayaan publik. Jika dikelola dengan strategi komunikasi yang tepat—berbasis transparansi, akuntabilitas, dan empati—perusahaan atau institusi negara tidak hanya bisa pulih dari krisis, tetapi juga memperkuat reputasi dalam jangka panjang.

Kecepatan, transparansi, dan empati adalah tiga kunci utama dalam mengelola krisis reputasi akibat cancel culture. Perusahaan tidak boleh bersikap reaktif atau defensif, tetapi harus proaktif dalam menjelaskan langkah perbaikan yang diambil. Fokus utama harus pada aksi nyata, bukan sekadar pernyataan retoris.

Jika lembaga negara terdampak skandal mampu mengambil langkah pemulihan yang sistematis—dengan meningkatkan transparansi, menindak pihak yang terlibat, serta mengkomunikasikan langkah perbaikan kepada publik—maka cancel culture dapat dikendalikan dan diubah menjadi momentum perbaikan yang lebih besar bagi institusi negara. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan reputasi perusahaan tetap terjaga di tengah tantangan era digital.

Topik Menarik