Prahara Tahta Penerus Raden Wijaya di Majapahit Usai Kelahiran Anak Laki-Laki
PENDIRI Kerajaan Majapahit memiliki dua putri cantik dari pernikahannya dengan Gayatri. Dua putri bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa, kelak disebut menjadi pewaris tahta kerajaan.
Di tangan Tribhuwana Wijayatunggadewi itu pula Kerajaan Majapahit sempat merintis kejayaan sebelum diteruskan oleh Hayam Wuruk.
Kedua putri ini yang mewarisi tahta Kerajaan Majapahit. Dimana di masa Tribhuwana Wijayatunggadewi Kerajaan Majapahit mulai merintis kejayaannya. Memang secara kecerdasan kedua putri Gayatri menurunkan gen dari ibu kandungnya, dengan merupakan anak yang cerdas, periang, sehat, berbakat, punya wajah cantik, tapi tidak egois.
Mungkin kesempurnaan itulah yang membuat Raden Wijaya tidak pernah mengeluh soal ketiadaan anak laki-laki yang lahir dari rahim Gayatri. Padahal secara hak pewaris tahta anak laki-laki lebih tinggi, daripada putranya yang lahir dari sang Putri Melayu yang tak pernah diakuinya sebagai ratu.
Namun, ada dua topik sensitif yang enggan ia bahas bersama Gayatri, yakni mengenai anak laki-laki dan pewaris tahta yang sah, serta ibu dari anak laki-laki itu, yaitu putri Dara Petak, yang tak dikenal orang, bernama Jayanagara, sebagaimana dikisahkan pada "Gayatri Rajapatni : Perempuan : Perempuan Dibalik Kejayaan Majapahit".
Waktu sang putra lahir, dengan berat hati Raden Wijaya menasbihkan Jayanagara sebagai pangeran-mungkin sekadar untuk menegaskan ada garis penerus yang jelas, sekalipun ia hanya mengakui empat ratu dan mereka semua adalah putri Kertanagara.
Di sisi lain, ibu dari putra semata wayangnya itu hanya diakui sebagai istri, bukan ratu istana. Mencium gelagat bahwa Gayatri akan gusar terhadap pengakuan status si anak lelaki sebagai "setengah-putra mahkota", Raden Wijaya menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkan siapa saja anggota keluarganya yang sah.
Prasasti Pananggungan (1305) layak dinantikan karena di sinilah termuat pengumuman istana yang paling menyentuh. Setelah menjabarkan keunggulan tiga ratu pertama, prasasti tersebut menyatakan
Tradisi Jawa bahwa putra sulung penguasa mewarisi kerajaan ayahnya tentunya tak bisa diganggu-gugat. Namun demikian, beberapa kali Gayatri menanyai Wijaya tentang bagaimana ia memandang masa depan kedua putrinya kelak, ketika putranya mewarisi tahta. Seperti biasa, Raden Wijaya meredam ketegangan dengan menggoda istrinya.
"Aku tak pernah khawatir akan nasib putri kita," ujar Raden Wijaya.
"Mereka mewarisi rupaku yang tampan dan kecerdasanmu, dan karena itu mereka akan menikah dengan para pangeran Jawa yang paling sempurna dan memerintah kerajaan melalui tangan suami, persis seperti yang dilakukan sang ibunda!"
Mustahil mendebat Wijaya ketika ia bercanda seperti itu. Gayatri tetap khawatir akan permasalahan suksesi karena ia tidak mempercayai kemampuan putra sulung Wijaya untuk memerintah negeri dengan baik.