Kemenag Kenalkan Fungsi Sidang Isbat, Hisab hinggaRukyat
JAKARTA - Sidang isbat merupakan salah satu bentuk layanan keagamaan yang harus dijalankan oleh pemerintah. Diketahui, beberapa hari lagi umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadan.
Demikian diutarakan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Abu Rokhmad saat membuka acara Catch the Moon secara hybrid di Auditorium HM Rasjidi, Kementerian Agama, Jakarta.
“Sidang isbat, hisab, dan rukyat adalah bentuk layanan keagamaan yang diberikan pemerintah kepada umat Islam. Ini bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari peran negara dalam memastikan kepastian hukum dan ketertiban dalam praktik ibadah,” ujarnya dikutip, Rabu (26/2/2025).
Ia menjelaskan, layanan keagamaan ini setara dengan layanan haji, umrah, pendidikan agama, hingga sertifikasi halal. Oleh karena itu, konsekuensi pembiayaan dalam pelaksanaan sidang isbat adalah hal yang wajar sebagai bagian dari tanggung jawab negara terhadap umat.
Profil Kapolda Kalsel Irjen Pol Rosyanto Yudha Hermawan yang Anaknya Viral Gegara Pamer Kekayaan
“Tidak hanya sidang isbat, layanan keagamaan lainnya seperti haji dan pendidikan juga memerlukan biaya. Ini adalah bentuk kehadiran negara dalam memberi kepastian dan kemudahan bagi masyarakat,” ujarnya.
Dijelaskannya, sidang isbat bukan sekadar acara seremonial, tetapi forum resmi yang menentukan awal bulan Hijriah berdasarkan metode ilmiah dan syariat. Manfaatnya pun juga sangat besar karena memberi kepastian bagi umat dalam menjalankan ibadah seperti puasa dan Idul Fitri.
Guru Besar UIN Walisongo Semarang itu juga mengungkapkan perbedaan metode dalam penentuan awal bulan Hijriah, yang kerap menjadi dinamika di masyarakat.
Menurutnya, metode hisab dan rukyat sama-sama memiliki dasar ilmiah dan keagamaan yang kuat, serta merupakan bagian dari kekayaan intelektual Islam yang harus dihormati.
“Hisab adalah metode perhitungan astronomi untuk menentukan posisi bulan secara matematis, tanpa perlu melakukan observasi langsung. Sementara itu, rukyat adalah metode pengamatan langsung hilal (bulan sabit pertama) di ufuk setelah matahari terbenam,”ujarnya.
Kedua metode ini kata dia memiliki landasan ilmiah dan keagamaan yang kuat serta telah digunakan dalam sejarah Islam.
“Perbedaan ini adalah fakta yang harus kita akui. Yang terpenting, kita tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan mengedepankan toleransi dalam menyikapi perbedaan,” tegasnya.
Selama ini kata diam Kemenag telah melibatkan berbagai pihak, termasuk ormas Islam, lembaga astronomi, dan akademisi dalam sidang isbat untuk memastikan keputusan yang diambil bersifat kolektif dan dapat diterima semua pihak.
“Kita harus mengedepankan ukhuwah Islamiyah dan tidak menjadikan perbedaan metode sebagai alasan perpecahan. Sidang isbat justru menjadi momentum untuk memperkuat kebersamaan dalam keberagaman pandangan,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat mengatakan, kegiatan Catch the Moon bisa menghasilkan generasi muda yang memahami dasar-dasar ilmu falak dan astronomi, sehingga diskusi tentang penentuan awal bulan tidak lagi hanya berkutat pada perbedaan, tetapi juga pada aspek keilmuan yang lebih luas.
“Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Umat Islam harus memahami dan menguasai ilmu falak, karena ini bukan hanya soal ibadah, tetapi juga bagian dari tradisi keilmuan Islam yang harus dijaga,” tandasnya.