Jimly Nilai Kewenangan Penyidikan Pidana Tertentu Kejaksaan Bisa Ditambahkan

Jimly Nilai Kewenangan Penyidikan Pidana Tertentu Kejaksaan Bisa Ditambahkan

Nasional | sindonews | Jum'at, 21 Februari 2025 - 11:48
share

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan langsung perkara tertentu bisa ditambahkan dengan melihat beban kerja kepolisian. Hal tersebut asalkan jelas jenis tindak pidana tertentunya, dan diatur dalam ketentuan undang-undang (UU).

Dia menuturkan, diberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk langsung melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi (tipikor) yang proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bisa langsung sekaligus ditangani Korps Adhyaksa.

“Jika mau ditambahi harus jelas jenis tindak pidana apalagi yang dimasukan dalam kategori tindak pidana khusus. Kan tidak hanya tipikor, bisa saja tindak pidana pencucian uang,” kata Jimly, Jumat (21/2/2025).

Diketahui, sekitar ribuan jenis tindak kejahatan yang tengah ditangani Polri. Mengingat beban kerja yang ditangani, maka ada beberapa tindak pidana tertentu yang bisa ditambahkan ke kejaksaan. “Bisa saja ditambahkan asalkan diatur dalam ketentuan UU yang ada,” ujar Jimly, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Jimly berpendapat, biarkan saja dibicarakan di DPR tentang pidana khusus apa saja yang bisa ditangani kejaksaan. “Ini kan dalam rangka memperkuat kejaksaan sekaligus dalam rangka membantu memperkuat kepolisian. Apa kekhususannya, sehingga perlu ditangani langsung kejaksaan, sehingga tidak muter bolak-balik kepolisian-kejaksaan,” ungkap Jimly yang juga menjadi anggota DPD periode lalu.

Lebih lanjut dia mengatakan, jumlah penyidik saat ini sudah terlalu banyak. Dia menambahkan, Kementerian ESDM saat ini minta tambahan fungsi penyidikan bahkan di lembaga setingat dirjen.

“Apa iya penting itu? Seperti Kementerian Lingkungan Hidup ada Dirjen khusus Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan. Lembaga kementerian di dalamnya ada gakum (penegakan hukum). Begitu juga OJK dalam revisi UU OJK ditambahi kewenangan tambahan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Kalau ada kasus pinjol (pinjaman online) penyidiknya langsung dari OJK,” tuturnya.

Adapun jumlah PPNS saat ini mencapai 56 instansi. Hal tersebut belum termasuk jika ada PPNS di ESDM. “Sekarang (penyidik) yang dikenal masyarakat hanya tiga, kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Padahal ada 56 instansi yang punya kewenangan penyidikan,” imbuhnya.

Dia juga menilai sampai saat ini koordinasinya belum jelas. Jika mengacu di UU Kepolisian, maka koordinasinya di kepolisian karena sama-sama penyidik. “Tapi kalau di kepolisian penyidikannya akan kayak muter, mulai dari nol lagi,” kata Jimly.

Sehingga, ujar dia, ada ide agar penyidik PPNS langsung ke kejaksaan. Dengan demikian, kata dia, fungsi kejaksaan akan lebih kuat sebagai dominis litis atau pemilik perkara pidana.

“Jadi PPNS dikoordinasikan langsung oleh kejaksaan. Kecuali KPK. Kalau di UU KPK maka KPK yang mengoordinasikan perkara tipikor, Tapi kalau mau memperkuat kejaksaan maka dominis litis ini yang mengoordinasi kejaksaan, bukan KPK. Kecuali perkara korupsi yang besar-besar di atas Rp1 miliar, itu ditangani KPK. Nanti dalam praktik mereka saling koordinasi saja,” ujarnya.

Pembahasan revisi UU Kejaksaan dinilai perlu dilakukan secara komprehensif. Jimly memandang bahwa harus dilihat seluruh UU yang berkaitan dengan PPNS di masing-masing lembaga.

Termasuk UU TNI yang masih memberi kewenangan pada TNI AL sebagai penyidik di laut. Padahal sudah ada Polisi Air. “Ini harus dikoordinasikan,” ungkapnya.

Dia pun menyarankan penggunaan omnibus untuk penataan hukum. Adanya puluhan UU yang mengatur penyidikan harus diintegrasikan dalam satu kesatuan sistem.

“Tapi jangan salah paham, omnibus itu bukan kodifikasi seperti UU Ciptaker. Itu keliru. Itu mengacukan omnibus tehnik dengan kodifikasi. Kalau kodifikasi itu menggabung menjadi satu, itu tidak perlu. Namanya tetap UU Kejaksaan tapi ada pasal-pasal yang mengubah, merujuk pada pasal UU lain,” pungkasnya.

Topik Menarik