Menelisik Kenaikan Harga Rokok di Indonesia

Menelisik Kenaikan Harga Rokok di Indonesia

Nasional | sindonews | Rabu, 29 Januari 2025 - 10:31
share

Candra Fajri AnandaStaf Khusus Menkeu RI

PEMERINTAH di tahun 2025 mengambil langkah berbeda dalam pengelolaan kebijakan fiskal pada Industri Hasil Tembakau (IHT). Tarif cukaiyang dalam beberapa tahun terakhir kerap mengalami peningkatan, kini diputuskan tak mengalami perubahan.

Meski demikian, Harga Jual Eceran (HJE) pada rokok justru meningkat melalui penyesuaian kebijakan.Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024 dan PMK Nomor 97 Tahun 2024.

Dalam PMK Nomor 97 Tahun 2024, pemerintah menetapkan kenaikan HJE untuk hampir seluruh produk tembakau yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Pemerintah menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok konvensional dan elektronik dengan rata-rata kenaikan HJE rokok konvensional sebesar 10.

Seperti pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I, HJE paling rendah ditetapkan sebesar Rp2.375 per batang, mengalami kenaikan sebesar 5,08 dibandingkan sebelumnya.

Sementara itu, untuk SKM Golongan II, HJE paling rendah ditetapkan sebesar Rp1.485 per batang, naik 7,6 dari sebelumnya.

Langkah pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2025, namun menaikkan HJE, menunjukkan pendekatan baru dalam pengelolaan kebijakan fiskal terhadap Industri Hasil Tembakau.

Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan perlindungan tenaga kerja dan keseimbangan antara industri dan kesehatan masyarakat.Industri rokok, terutama yang masih mengandalkan tenaga kerja manual, menjadi salah satu fokus perlindungan dalam regulasi ini.

Pemerintah berharap bahwa regulasi tidak menaikkan tarif cukai dapat menjaga keberlangsungan industri dan melindungi tenaga kerja yang terlibat. Di samping itu, pemerintah juga berharap bahwa keseimbangan antara keberlangsungan industri hasil tembakau dan kesehatan masyarakat dapat terjaga melalui kebijakan tersebut.

Pemerintah berharap bahwa kebijakan kenaikan HJE tanpa menaikkan tarif cukai dapat dicapai titik tengah yang mendukung kedua aspek tersebut.

Akan tetapi, keputusan pemerintah untuk menaikkan HJE rokok pada tahun 2025 – meski tidak menaikkan tarif cukai – punmenimbulkan kekhawatiran terkait dampak negatif yang mungkin terjadi pada IHT. Dampak Kenaikan HJE

Bagi industri – terutama produsen rokok skala kecil dan menengah – kebijakan kenaikan HJE menimbulkan tantangan tersendiri mengingat produsen harus menyesuaikan harga jual produk sesuai dengan HJE yang baru.

Studi oleh Chaloupka et al. (2020) dalam Tobacco Control menunjukkan bahwa perusahaan tembakau harus menyesuaikan harga jual produk mereka agar tetap kompetitif di pasar. Kebijakan HJE rokok memiliki implikasi yang luas terhadap industri hasil tembakau, terutama dalam konteks ekonomi, sosial, dan dinamika pasar.

Artinya, meski tarif cukai tidak mengalami kenaikan, kebijakan HJE yang lebih tinggi tetap berpotensi menekan berbagai aspek dalam industri ini.

Penetapan kenaikan HJE memiliki dampak langsung terhadap penurunan volume produksi di IHT. Tatkala HJE meningkat, daya beli konsumen – terutama di segmen masyarakat berpenghasilan rendah – cenderung melemah.

Penurunan ini memaksa perusahaan tembakau untuk menyesuaikan kapasitas produksinya agar sejalan dengan permintaan pasar yang menurun.

Menurut laporan Goodchild et al. (2018) dalam The Lancet Public Health, peningkatan harga rokok sebesar 10 dapat menyebabkan penurunan konsumsi hingga 5 di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk Indonesia.

Hal tersebut selaras dengan hasil simulasi PPKE FEB UB (2025) yang menunjukkan bahwa kenaikan HJE berdampak pada penurunan volume produksi rata-rata hingga 5. Secara spesifik penurunan volume produksi terbesar terjadi pada rokok SKT golongan 3.

Artinya, dampak kenaikan HJE tidak hanya dirasakan oleh perusahaan besar, tetapi juga lebih berat menimpa usaha kecil yang memiliki keterbatasan dalam menyerap kenaikan biaya produksi.

Selanjutnya, penetapan HJE yang lebih tinggi juga dapat menekan margin keuntungan perusahaan tembakau, terutama perusahaan kecil dan menengah.

Perusahaan kecil dan menengah sering kali menghadapi tantangan besar karena keterbatasan modal dan akses ke teknologi. Berdasarkan studi Euromonitor International (2022) mencatat bahwa perusahaan kecil sering kali kekurangan sumber daya untuk bersaing dalam pasar yang didominasi oleh pemain besar.

Akibatnya, banyak perusahaan kecil mengalami penurunan pangsa pasar yang signifikan atau bahkan keluar dari pasar.Lebih jauh, pengurangan tenaga kerja menjadi salah satu dampak sosial yang dapat mengancam.

Fenomena ini terjadi lantaran perusahaan tembakau cenderung mengambil langkah efisiensi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja, yang dipicu oleh menurunnya permintaan akibat daya beli konsumen yang melemah.

Laporan International Labour Organization (ILO, 2021) mencatat bahwa tekanan untuk mempertahankan margin keuntungan sering kali memaksa perusahaan tembakau memangkas tenaga kerja, baik di sektor produksi maupun distribusi.

Alhasil, dampak dari pengurangan ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja pabrik dan buruh distribusi, melainkan juga menjalar hingga ke petani tembakau dan cengkeh yang menjadi bagian penting dari rantai pasok industri.

Perusahaan tembakau – yang merupakan pembeli utama hasil panen petani – terpaksa mengurangi volume produksi akibat penurunan daya beli konsumen dan peningkatan harga produk. Kondisi ini secara langsung mengurangi kebutuhan bahan baku, sehingga permintaan terhadap tembakau dan cengkeh dari petani menurun drastis.

Penelitian oleh van der Eijk et al. (2021) dalam Public Health Research menunjukkan bahwa ketika permintaan dari industri menurun, pendapatan petani tembakau dapat anjlok hingga 30 dalam satu musim tanam.

Di Indonesia, banyak petani tembakau dan cengkeh di daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur menggantungkan hidup mereka pada industri tersebut.

Oleh sebab itu, ketika perusahaan besar mengurangi pembelian atau menunda kontrak, petani tidak hanya kehilangan pendapatan tetapi juga menghadapi risiko gagal panen karena tidak ada pembeli untuk menyalurkan hasil panen mereka. Hal ini menciptakan efek domino yang merugikan seluruh ekosistem pertanian tembakau dan cengkeh.

Salah satu dampak lain yang hampir pasti muncul akibat kebijakan kenaikan HJE adalah meningkatnya potensi peralihan konsumen ke rokok ilegal. Kondisi ini terjadi karena kenaikan HJE secara signifikan mengurangi daya beli konsumen, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

Penelitian oleh Goodchild et al. (2018) dalam The Lancet Public Health mengungkapkan bahwa lonjakan harga rokok cenderung mendorong konsumen untuk beralih ke produk yang lebih murah, termasuk rokok ilegal.

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada potensi hilangnya pendapatan negara, tetapi juga memicu persaingan tidak sehat yang merugikan produsen resmi.

Pendekatan Holistik dalam Menangani IHT

Mengurai kompleksitas permasalahan dalam kebijakan IHT di Indonesia memang tak mudah. Kebijakan IHT di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih berimbang untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi demi menjaga stabilitas ekonomi sekaligus melindungi kesehatan masyarakat.

Kebijakan yang hanya berfokus pada peningkatan cukai HJE sering kali memberikan tekanan besar pada perusahaan tembakau, pekerja, dan petani. Oleh sebab itu, pendekatan yang inklusif, yang mempertimbangkan dampak pada seluruh rantai pasok, menjadi solusi yang sangat diperlukan.

Sebagai sektor yang berkontribusi besar terhadap penerimaan cukai, IHT tidak bisa diabaikan begitu saja. Meski demikian, dampak negatif dari konsumsi tembakau terhadap kesehatan masyarakat juga takdapatdilupakan.

Pemerintah harus berupaya menyeimbangkan kepentingan industri, kesehatan masyarakat, dan pendapatan negara. Kebijakan yang hanya berfokus pada pengendalian konsumsi tembakau tanpa mempertimbangkan keberlangsungan industri dapat menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang signifikan.

Oleh sebab itu, pendekatan yang mengintegrasikan berbagai kepentingan perlu dikembangkan.

Penting bagi pemerintah untuk menginisiasi dialog yang konstruktif antara semua pemangku kepentingan, termasuk industri, masyarakat, dan organisasi kesehatan.

Dialog ini harus menjadi wadah untuk menemukan solusi bersama yang tidak hanya mengurangi konsumsi tembakau, tetapi juga menjaga keberlangsungan ekonomi para pekerja dan petani yang terlibat dalam sektor ini.

Melalui dialog terbuka, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih diterima oleh berbagai pihak dan mengurangi resistensi dari kelompok tertentu.

Menjadi sebuah catatan juga bahwa melanjutkan dan menyelesaikan roadmap IHT adalah langkah strategis yang penting untuk memberikan panduan jangka panjang bagi pengelolaan sektor ini.

Roadmap IHT harus mencakup strategi untuk diversifikasi ekonomi petani, pengembangan produk alternatif, dan pengawasan terhadap rokok ilegal. Hanya melalui roadmap yang jelas, pemerintah dapat mengarahkan kebijakan yang seimbang antara pengendalian konsumsi tembakau dan keberlanjutan ekonomi sektor IHT.

Hal ini juga memberikan kepastian bagi industri dan petani untuk merencanakan masa depan mereka dengan lebih baik.

Pada intinya, kebijakan IHT di Indonesia harus dirancang secara holistik untuk mengatasi tantangan yang kompleks di sektor ini.

Melalui pendekatan yang seimbang, dukungan dari semua pemangku kepentingan, dan implementasi roadmap yang terencana, Indonesia dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pengendalian konsumsi tembakau tetapi juga memastikan keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah, industri, dan masyarakat harus berjalan bersama untuk mencapai tujuan ini, demi menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak. Semoga.

Topik Menarik