Mantan Auditor BPK Ragukan Validitas Data Kerugian Negara Rp271 Triliun di Kasus Timah, Ini Sebabnya

Mantan Auditor BPK Ragukan Validitas Data Kerugian Negara Rp271 Triliun di Kasus Timah, Ini Sebabnya

Nasional | okezone | Senin, 6 Januari 2025 - 21:38
share

JAKARTA - Kerugian negara sebesar Rp 271 triliun yang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah Tbk memantik pertanyaan. 

Mantan Auditor Utama BPK RI, Gatot Supiartono, menilai validitas data tersebut patut dipertanyakan, terutama karena laporan hasil audit tidak dilampirkan dalam berkas perkara.  

Gatot, salah satu ahli yang terlibat sebagai saksi dalam persidangan mengungkapkan bahwa laporan penghitungan kerugian negara seharusnya menjadi alat bukti yang dilampirkan dalam persidangan. 

"Laporannya nggak dikasih oleh jaksa, dan hakim mendiamkan. Harusnya, kalau itu alat bukti, dilampirkan dalam berkas perkara. Bagaimana mau menguji, kalau hanya angka yang disampaikan tanpa prosesnya?" ujarnya.  

Ia juga mempertanyakan profesionalitas audit yang dilakukan BPKP. Menurutnya, kualitas audit dilihat dari tiga hal: independensi auditor, perolehan bukti, dan penggunaan tenaga ahli. 

“Jika hasilnya berubah dari Rp271 triliun menjadi Rp152 triliun, itu menunjukkan proses pemeriksaannya tidak profesional. Data kan tidak berubah, berarti pengolahan bukti yang bermasalah," tegasnya. 

Hal ini menyoroti nilai kerugian negara sebesar Rp152 triliun dari total Rp271 triliun yang dibebankan kepada 5 korporasi oleh Kejagung.

Masing-masing korporasi tersebut adalah PT RBT dengan tanggungan sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun, atau total Rp152 triliun. Sementara, masih ada selisih Rp119 triliun sisanya yang masih dihitung BPKP.

“Jangan sampai Rp271 triliun sudah diragukan, yang Rp152 triliun diragukan lagi. Pengujiannya di situ aja,” tambahnya.

 

Menurut Gatot, ada empat syarat bukti yang harus dipenuhi: cukup bukti, relevan, handal, dan bermanfaat. Jika laporan audit tidak dilampirkan, maka validitas data yang digunakan dalam persidangan menjadi tanda tanya besar.  

"Kalau laporannya benar, diverifikasi ulang hasilnya akan sama. Tapi kalau tidak boleh diuji, itu aneh. Misteri sekali," katanya.  

Sementara itu, Penasihat Hukum Harvey Moeis dkk., Junaedi Saibih, turut mengkritisi ketidaktransparanan dalam penyajian bukti kerugian negara.  

"JPU tidak pernah melampirkan rincian kerugian Rp 271 triliun sebagai barang bukti. Bahkan dokumen laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) tidak pernah dijadikan barang bukti di persidangan. Hal ini jelas merugikan kami karena tidak punya materi untuk dipelajari dan dijadikan bahan pembelaan," jelas Junaedi.  

Gatot menegaskan pentingnya audit ulang dilakukan sesuai standar agar hasilnya dapat dipercaya.  

Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penghitungan kerugian negara. "Kalau datanya fair, kasih saja. Nggak mungkin bisa diubah kalau prosesnya benar," pungkasnya.

Topik Menarik