Tragedi Perang Bubat Majapahit Dipicu Kaum Menak yang Ingin Pesta

Tragedi Perang Bubat Majapahit Dipicu Kaum Menak yang Ingin Pesta

Nasional | okezone | Selasa, 17 Desember 2024 - 06:06
share

JAKARTA – Maharaja Linggabuana, penguasa Kerajaan Sunda Galuh bersedia memenuhi keinginan Mahapatih Kerajaan Majapahit Gajah Mada. Gajah Mada menyatakan tidak ada pesta penyambutan dalam pernikahan Raja Majapahit Hayam Wuruk dengan putri sekar kedaton Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi.

Peristiwa itu terjadi pada 1357 M atau 1279 tahun Saka di sebuah lapangan bernama Bubat yang diyakini di kawasan Candi Brahu, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Memang Citraresmi akan diperistri oleh Hayam Wuruk. Lagipula Hayam Wuruk di usianya 23 tahun itu telah terpikat oleh kerupawanan Citraresmi.

Pada sisi lain, dari garis kakeknya, yakni Raden Wijaya (Raja Pertama Majapahit), khususnya dari jalur Dyah Lembu Tal, nenek buyutnya juga keturunan Sunda.

Namun, mengutip Serat Pararaton, Gajah Mada menegaskan kehadiran Raja Sunda di Majapahit untuk mempersembahkan sang putri yang itu sekaligus simbol penaklukan.

Gajah Mada sudah lama ingin segera mengakhiri sumpah hamukti palapanya, yakni menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara di bawah panji kebesaran Majapahit. Dalam serat Pararaton disebutkan, pada saat itu terjadi perpecahan sikap di dalam rombongan Raja Sunda dan istrinya.

Linggabuana dan beberapa pembesar bersedia memenuhi keinginan Gajah Mada. Artinya, juga menerima tidak ada pesta penyambutan pernikahan.

 

Namun, sikap berbeda diperlihatkan oleh sejumlah kaum Menak (Bangsawan Sunda) lainnya. Mereka menolak persembahan, dan karenanya ingin digelar pesta pernikahan.

Mereka menyatakan siap berperang sampai titik darah penghabisan demi mempertahankan martabat kerajaan Sunda Galuh. Sikap Maharaja Linggabuana pun goyah.

Melihat itu Gajah Mada melaporkan kepada Bhre Prameswara atau Bhre Wengker dan dijawab Majapahit siap berperang. Pasukan Majapahit pun melakukan pengepungan, dan perang yang mengakibatkan tewasnya Raja Sunda beserta istri dan seluruh kaum menak tidak terelakkan.

Penyatuan kerajaan Sunda dan Majapahit melalui pernikahan itu pun gagal. Raja Hayam Wuruk kemudian menikah dengan Padaka Sori, putri Bhre Prameswara.  

Serat Pararaton selanjutnya hanya menuliskan, pasca Perang Bubat, Gajah Mada beristirahat dari jabatannya sebagai Mahapatih Majapahit yang diampunya selama 11 tahun.

Tidak ada catatan yang menyebut pasca peristiwa itu terjadi ketegangan sosial antara orang Sunda dan orang Majapahit yang direpresentasikan sebagai orang Jawa.

Kitab Carita Pahrayangan (1508) sebagai sumber Sunda juga tidak mencatat hal itu. Bahkan, dalam Carita Pahrayangan hanya menuliskan adanya peristiwa Perang Bubat.

 

Begitu juga dengan naskah kuno catatan perjalanan Bujangga Manik, bangsawan Kerajaan Sunda di Pulau Jawa dan Bali, juga tidak menyebutkan adanya ketegangan sosial antara orang Sunda dan Jawa.

Ketegangan sosial dan budaya antara Sunda dengan Jawa juga tidak ditemukan dalam catatan Suma Oriental, karya penulis Portugis Tome Pires.

Informasi dari berbagai sumber, munculnya narasi ketegangan antara orang Sunda dan Jawa pasca Perang Bubat datang dari Kidung Sunda dan Kidung Sundayana.

Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang ditulis pada tahun 1928 diketahui ditemukan di Pulau Bali. Para penulis Belanda yang kemudian menerjemahkan dan mengedarkannya.

Disebutkan bahwa Niskala Wastu Kencana, Raja Sunda pengganti Linggabuana dan Patih Bunisora Suradipati, pamannya melarang rakyat Sunda berhubungan dengan rakyat Majapahit.

Topik Menarik