KPK Temukan Kerawanan Perencanaan Anggaran NTB, Pokir Dialirkan ke Yayasan Fiktif
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V mengungkap sejumlah kerawanan dari sisi perencanaan dan penganggaran. Salah satunya dalam pengelolaan Pokok Pikiran (Pokir) DPRD di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Demikian diungkapkan Kepala Satgas Korsup Wilayah V, Dian Patria, pada Sosialisasi Pencegahan Korupsi atas Pengelolaan Anggaran Pokir di Mataram.
Dia menjelaskan, Pokir seharusnya menjadi program berbasis kebutuhan masyarakat. Tetapi, kata dia, kerap disalahgunakan, bahkan dialirkan pada yayasan fiktif.
"Pokok pikiran DPRD dirancang untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Namun dalam praktiknya, kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon,”ujar Dian, Sabtu (23/11/2024).
“Ini tidak hanya menyimpang dari tujuan pembangunan, tetapi juga membuka celah korupsi,"lanjutnya.
Dikatakannya, Permendagri Nomor 86 tahun 2017 menyebutkan Pokir DPRD seharusnya digunakan sebagai saran dan pendapat berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat sebagai bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan, dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Sementara di kota Mataram sendiri, kata dia, KPK mencatat beberapa penyimpangan Pokir, meliputi pengajuan Pokir yang tidak sesuai prosedur; perubahan Pokir setelah pembahasan anggaran; penyaluran hibah uang kepada yayasan yang tidak jelas legalitasnya, bahkan ada indikasi milik anggota DPRD sendiri; hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan sosial (bansos).
Pada 2024, diketahui total anggaran Pokir DPRD Kota Mataram mencapai Rp92 miliar. Sementara pada realisasinya baru 50,1 atau Rp46 miliar, yang dilokasikan pada 25 OPD. Sayangnya Pokir ini sebagian besar digunakan dalam bentuk hibah uang, bukan program.
Dian menambahkan bahwa praktik-praktik tersebut juga telah menjadi temuan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di NTB.
“BPK menemukan yayasan fiktif dan hibah yang tidak sah, sementara bantuan sosial sering disalurkan tanpa prosedur yang benar. Satu anggota Dewan itu pakai Pokir Rp3 miliar. Ada juga dapilnya di Kota Mataram tetapi Pokirnya di Sumbawa. Ini kan ada indikasi fraud dan dugaan jual-beli Pokir," ungkapnya.
Sektor perencanaan dan penganggaran memang menjadi dua fokus utama yang masuk 8 area intervensi untuk memetakan titik rawan korupsi dalam Monitoring Center for Prevention (MCP). Per 20 November 2024, tercatat Kota Mataram memperoleh 74 poin untuk area perencanaan dan 45 poin untuk penganggaran. Sementara hasil MCP Kota Mataram sendiri masih berada di indikator merah, yakni 67 poin.
Untuk itu, KPK mengingatkan para anggota Dewan untuk tidak lagi melakukan hal serupa. Bahkan, Dian memberikan rekomendasi perbaikan dalam tata kelola perencanaan dan penganggaran agar selaras dengan aturan. Rekomendasi tersebut meliputi transparansi dan kepatuhan aturan, seperti Pokir harus berupa program yang dirancang oleh OPD sesuai dengan aspirasi masyarakat dan melarang penyisipan program yang tidak relevan ke dalam RKPD dan RPJMD.
"Lantas, pengendalian konflik kepentingan juga penting, agar bisa menghapus praktik titipan proyek atau jatah anggaran serta memastikan usulan Pokir melalui mekanisme e-Planning pada Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD),” kata Dian.
“Terakhir, perlu adanya pengawasan dan investigasi lanjutan, seperti melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) untuk menindaklanjuti temuan ketidaksesuaian perencanaan dan penganggaran. Hasil pemeriksaannya wajib disampaikan ke KPK paling lambat 15 Desember 2024,”tutupnya.