Bahtsul Masail Kiai Jakarta: Pernyataan Suswono Bukan Penistaan terhadap Nabi Muhammad
JAKARTA - Forum Kiai Jakarta Bersatu (FKJB) menyelenggarakan diskusi Bahtsul Masail dengan tajuk “Telaah Fikih Statemen Suswono Terkait Rasulullah SAW”, Sabtu (17/11). Hasilnya, forum diskusi ilmiah para kiai yang digelar di Hotel Sofyan, Cikini, Jakarta Pusat itu menyepakati bahwa pernyataan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Suswono terkait janda kaya menikahi pemuda nganggur bukanlah penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Forum ini dihadiri sekitar 30 kiai, ustadz dan ulama pakar bahtsul masail dan ahli fikih yang mewakili sejumlah ormas keagamaan di wilayah Jakarta. Di antaranya: K.H. Roland Gunawan, K.H. Mahfudz Rozaq, Ustadz Fairuzabadi, Ustadz Fahrurazi, Kiai Lukman Cecep, Ustadz Rohdin, K.H. Amzaini, Kiai Muhsin, Gus Sadawi Abdul Rahman, Ustadz Abdul Ghafur, K.H. Endang Hermansyah, Ustadz Supriyadi, Ustadz AM. Mahfudz, Kiai M. Ali Muntaqo, Kiai Ahmad Shodiq, Kiai Ahmad Muhtarom, Kiai Ahmad Shomad, Kiai Marta, Kiai M Rofiq, K.H. Soffa Ihsan, K.H. Mukti Ali, Kiai Gufron Faza, K.H. Abdurrohman, K.H. Abdul Basit. Forum ini dipandu oleh K.H. Mohammad Khoiron sebagai moderator.
Ketua FKJB, K.H. Agus Khudlori, Lc., dalam sambutannya menyampaikan, diskusi Bahtsul Masail ini diadakan sebagai bentuk keprihatinan para kiai dan ulama atas fenomena masyarakat yang mudah terprovokasi dan saling melempar tuduhan "penistaan agama" terhadap sesama.
“Kami mengadakan Bahtsul Masail ini murni untuk menunaikan amanah keilmuan dalam konteks kajian masalah-masalah keumatan dan keislaman. Terlepas dari unsur-unsur politik, kami melakukan diskusi ini, pertama, untuk menghadirkan pandangan alternatif berdasarkan aqwal atau pendapat-pendapat para ulama yang terkodifikasi di dalam kitabkitab fikih klasik agar umat tidak terpecah belah hanya karena beda pilihan politik.
Kedua, untuk menjaga iklim demokrasi di Indonesia, supaya kalau ada statemen atau pernyataan yang dipandang tidak cocok tidak lantas dipolitisasi dan dianggap penistaan agama,” kata Kiai Khudlori.
Kiai Khudlori berpesan agar umat terbiasa menghadapi momen-momen politik seperti Pilpres dan Pilkada yang rawan mengundang provokasi. Setiap ucapan yang disampaikan oleh public figure di momen-momen politik harus dicerna dengan kepala dingin sehingga tidak mudah terpancing emosi yang dapat memicu perpecahan antar sesama anak bangsa.
“Jangan mudah digiring untuk menganggap suatu statemen yang sebenarnya masih dalam ranah khilafiyah sebagai bentuk penistaan agama. Padahal tidak setiap ucapan mengenai pribadi Nabi SAW. yang tidak sesuai dengan paham suatu kelompok bisa dianggap sebagai penistaan agama,” tukasnya.
K.H. Roland Gunawan, Lc., salah satu peserta Bahtsul Masail, dalam forum tersebut mengutip pernyataan Imam al-Ghazali di dalam kitab Fayshal al-Tafriqah fi ma bayna alIslam wa al-Zandaqah yang memberikan nasihat agar kita menjaga atau menahan lisan untuk tidak mudah mengata-ngatai ahlul qiblah (umat Muslim).
“Maksudnya jangan sampai kita ini mengobral tuduhan-tuduhan kafir dan penistaan agama kepada sesama muslim,” tegasnya.
Lima Landasan FKJB
Ada lima alasan yang menjadi landasan para kiai dan ulama dalam memutuskan bahwa statemen Suswono tidak termasuk kategori penistaan terhadap Nabi Muhammad. Berikut bunyi lengkap hasil Bahtsul Masail FKJB tersebut:
Para kiai dan ulama dalam forum ini menyepakati bahwa statemen Suswono tidak bisa dianggap sebagai penistaan agama, dengan mempertimbangkan beberapa alasan.
Pertama, statemen Suswono tersebut berkaitan dengan sifat basyariyah (kemanusiaan) Nabi Muhammad, dan bukan sifat nubuwwah (kenabian) beliau. Dua sifat ini ada dalam diri Nabi SAW., dan keduanya sangat berbeda.
Merujuk pada keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa Rasulullah memiliki sifatsifat wajib, sifat-sifat mustahil, dan sifat jaiz, yaitu: al-a’radh al-basyariyah, yakni sifat-sifat yang sama sebagaimana manusia lain.
Sifat kenabian (nubuwwah) Nabi Muhammad SAW. adalah seperti beliau menerima wahyu, menjadi orang yang ma’shum (terpelihara dari dosa), suci, memiliki mukjizat, menyampaikan amanah (tabligh).
Semua itu merupakan sifat wajib Rasul. Sedangkan sifat kemanusiaan (basyariyah) Nabi di antaranya yaitu makan, minum, berjalan di pasar seperti manusia pada umumnya, mengenakan jenis pakaian yang sesuai dengan tradisi, tidur, istirahat, bekerja, berdagang, menggembala kambing, luka, sakit, hidup, wafat, dan seterusnya.
Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Nur al-Zhalam dan Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab I’anah al-Thalibin menyatakan bahwa ketika seseorang menjelaskan sifat kemanusiaan Nabi, hal itu tidak mengurangi derajat kemuliaan beliau.
Kedua, berdasarkan realitas sejarah. Yaitu bahwa Siti Khadijah adalah seorang janda kaya, konglomerat, dan Nabi adalah pemuda usia 25 tahun di saat menikah dengan
Khadijah.
Ketiga, tinjauan etimologis atau kebahasaan. Di mana kata “nganggur” dalam statemen Suswono berbeda dengan kata “pengangguran”. Secara bahasa, “nganggur” adalah “sedang tidak bekerja”. Orang nganggur adalah orang yang sebenarnya punya pekerjaan, ia sangat rajin dan giat dalam pekerjaannya, tetapi dalam suatu waktu ia istirahat sehingga ia mengganggur.
Sedangkan “pengangguran” adalah orang yang memang tidak punya pekerjaan dan tidak bekerja. Nganggur adalah sifat alami manusia. Nabi SAW., terlepas dari sifat kenabiaan beliau, adalah manusia yang memerlukan istirahat setelah bekerja keras. Selama masa istirahat itu, beliau bisa disebut nganggur alias sedang tidak bekerja.
Dengan demikian, di dalam statemen Suswono itu tidak ada satupun unsur yang bisa dikategorikan sebagai penistaan
agama. Di samping itu, kata “nganggur” sendiri dalam statemen tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada Nabi SAW., melainkan kepada pemuda.
Keempat, tabayyun atau klarifikasi Suswono, yang menyatakan bahwa dirinya tidak ada niatan sedikit pun dengan statemennya tersebut untuk menghina Nabi Muhammad
SAW. Kelima, jika sebagian orang menganggap statemennya salah, Suswono sudah menyampaikan permohonan maaf bahkan sampai mengucapkan istighfar (memohon ampunan kepada Allah) yang dianggap sebagai bentuk pertaubatan. Seperti dijelaskan di dalam sebuah hadis Nabi SAW., bahwa “setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaikbaiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat”.
Dan Islam menganjurkan agar umat Muslim menjadi umat pemaaf sebagaimana dalam Q.S. Ali Imran: 159