Tantangan Efisiensi Investasi di Indonesia: ICOR
Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI
EFISIENSI investasi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Salah satu indikator utama yang digunakan untuk mengukur efisiensi ini adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR). ICOR digunakan untuk mengukur jumlah investasi yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit tambahan produk domestik bruto (PDB).
Nilai ICOR yang rendah, dengan rentang antara 0 hingga 1, menunjukkan bahwa suatu negara dapat memanfaatkan investasi dengan sangat efisien, sehingga biaya investasi untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih murah. Sebaliknya, ICOR yang mendekati 1 menunjukkan efisiensi yang lebih rendah, di mana investasi yang besar hanya menghasilkan pertumbuhan yang kecil.
Nilai ICOR sering dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terkait dengan lingkungan investasi, di antaranya adalah perizinan, infrastruktur, regulasi daerah, korupsi, serta ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA). Proses perizinan yang sederhana, cepat, dan transparan dapat menurunkan hambatan administratif, sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Begitu juga infrastruktur yang memadai terutama akses jalan, Listrik, air bersih, pelabuhan, dan logistik juga berkontribusi menurunkan biaya distribusi dan transportasi, sehingga meningkatkan daya saing ekonomi.
Sebaliknya, infrastruktur yang buruk akan menaikkan biaya logistik, menyebabkan ICOR menjadi lebih tinggi karena investasi yang besar hanya memberikan hasil ekonomi yang minim. Pun regulasi yang tumpang tindih atau kurang sinkron antara pemerintah pusat dan daerah juga sering kali memperumit iklim investasi, menurunkan efisiensi penggunaan modal.
Selain itu, praktik korupsi juga dapat menciptakan biaya tambahan yang tidak perlu, sehingga mengurangi produktivitas investasi. Di sisi lain, ketersediaan SDM yang berkualitas dan SDA yang melimpah dapat menjadi katalis untuk efisiensi investasi. Negara dengan tenaga kerja terampil mutlak lebih mampu memaksimalkan hasil dari setiap unit modal yang diinvestasikan, sementara SDA yang dikelola dengan baik akan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
<i>Fit and Proper Test</i>, Capim KPK Setyo Budianto Sebut OTT Tetap Diperlukan Tapi Selektif
Alhasil, kombinasi dari faktor-faktor tersebut menciptakan lingkungan yang mendukung atau menghambat efisiensi investasi, yang pada akhirnya tercermin dalam nilai ICOR. Upaya untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut merupakan langkah strategis bagi negara untuk meningkatkan daya tarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Negara-negara dengan ICOR rendah, seperti Vietnam dan Tiongkok, menunjukkan daya tarik investasi yang tinggi berkat infrastruktur yang memadai, sistem regulasi yang mendukung, serta tenaga kerja yang produktif. Sebaliknya, negara dengan ICOR tinggi cenderung menghadapi tantangan seperti korupsi, birokrasi yang rumit, atau stabilitas politik yang kurang mendukung. Bagi investor, ICOR menjadi indikator penting untuk menilai risiko dan potensi keuntungan investasi di suatu negara.
Di sisi lain, bagi pembuat kebijakan, memahami ICOR membantu dalam merumuskan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, seperti memperbaiki infrastruktur, menciptakan regulasi yang pro-investasi, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui nilai ICOR yang rendah, suatu negara tidak hanya mampu menarik lebih banyak investasi, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Tantangan ICOR di Indonesia
Di Indonesia, ICOR mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, ICOR Indonesia tercatat sebesar 8,66, kemudian menurun menjadi 6,02 di 2022. Akan tetapi, pada 2023, ICOR kembali naik menjadi 6,33. Peningkatan ICOR pada 2023 menunjukkan bahwa efisiensi investasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan.Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, ICOR Indonesia masih relatif tinggi. Negara-negara ASEAN umumnya memiliki ICOR di kisaran 4 5. Tingginya ICOR Indonesia mengindikasikan bahwa investasi yang dilakukan belum sepenuhnya efisien dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Sebagai perbandingan, Filipina berhasil menurunkan ICOR mereka menjadi 3,7, sementara Thailand mencapai 4,4, Malaysia 4,5, dan Vietnam 4,6.
Penurunan ICOR di negara-negara tersebut menunjukkan peningkatan efisiensi dalam penggunaan modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor seperti perbaikan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia berkontribusi terhadap penurunan ICOR di negara-negara tersebut.
Negara-negara ASEAN yang berhasil menurunkan ICOR telah mengadopsi berbagai strategi yang fokus pada efisiensi dan daya saing ekonomi. Misalnya, Vietnam menempatkan investasi infrastruktur sebagai prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Nasional mereka. Vietnam berhasil menurunkan biaya logistik dan meningkatkan daya tarik bagi investor asing melalui pembangunan pelabuhan, jalan raya, dan jalur kereta api yang terintegrasi.
Begitu juga Thailand yang mengoptimalkan digitalisasi birokrasi untuk mempercepat proses perizinan dan meningkatkan transparansi. Lantas, hal tersebut dikombinasikan dengan reformasi kebijakan yang pro-investasi, sehingga membuat investasi di negara tersebut menjadi lebih efisien, sebagaimana tercermin dari ICOR mereka yang rendah.
Di Indonesia, tingginya ICOR disebabkan oleh beberapa faktor seperti biaya ekonomi yang tinggi, korupsi, dan perencanaan yang buruk menjadi penyebab utama. ICOR yang tinggi mengindikasikan bahwa investasi yang besar hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang kecil, menunjukkan inefisiensi dalam penggunaan modal. Artinya, dampak dari tingginya ICOR ini cukup signifikan. Ketidakefisienan investasi menurunkan daya tarik Indonesia bagi investor asing dan domestik, yang pada akhirnya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan Daya Saing
Demi mengatasi masalah ICOR, Indonesia perlu meningkatkan daya saing ekonomi dengan fokus pada produktivitas di setiap sektor. Adapun sektor-sektor utama seperti pertanian, manufaktur, jasa, dan teknologi harus diperkuat melalui inovasi dan investasi yang strategis. Contohnya, sektor manufaktur membutuhkan teknologi canggih untuk meningkatkan efisiensi produksi dan menekan biaya logistik.Sementara itu, sektor pertanian dapat ditingkatkan melalui adopsi teknologi modern dan perbaikan akses pasar bagi petani. Peningkatan produktivitas tersebut harus didukung oleh investasi dalam pengembangan SDM. Program pelatihan keterampilan kerja, pendidikan vokasi, dan pengembangan kapasitas tenaga kerja harus menjadi prioritas. Hanya melalui peningkatan kualitas tenaga kerjalah, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor tenaga ahli dan meningkatkan daya saing produk lokal di pasar internasional.
Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara-negara tetangga dalam menurunkan ICOR. Salah satunya, Indonesia dapat meniru pendekatan dengan fokus pada reformasi struktural yang menyeluruh. Penyederhanaan proses perizinan melalui digitalisasi seperti yang dilakukan Vietnam, serta penguatan integrasi antarlembaga untuk mencegah regulasi yang tumpang tindih, dapat menjadi langkah awal yang efektif. Di Indonesia, salah satu inisiatif yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing adalah penguatan Online Single Submission (OSS) sebagai sistem perizinan terpadu.
OSS dirancang untuk menyederhanakan proses perizinan, mempercepat pengurusan dokumen, dan meningkatkan transparansi. Pasalnya, hingga kini OSS masih menghadapi tantangan dalam hal implementasi yang belum merata di seluruh daerah. Banyak daerah yang belum terintegrasi sepenuhnya dengan OSS, sehingga proses perizinan menjadi lambat dan berbelit. Oleh sebab itu, demi mengatasi hal ini, pemerintah perlu memperluas cakupan OSS ke seluruh wilayah Indonesia dan memastikan integrasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain memperluas cakupan OSS, penguatan infrastruktur digital dan pelatihan bagi pejabat daerah menjadi kunci suksesnya sistem ini. Hal tersebut lantaran masih banyak daerah di Indonesia yang menghadapi keterbatasan dalam hal akses teknologi dan kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola OSS secara optimal. Sebab itu, melalui pelatihan intensif dan investasi pada infrastruktur teknologi, pemerintah dapat memastikan pemerataan dalam ekosistem OSS. Pada jangka panjang, langkah tersebut juga akan memperkuat integrasi ekonomi nasional, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing daerah di tingkat nasional dan internasional.
Di samping itu, penguatan OSS juga harus diiringi dengan peningkatan kolaborasi antarlembaga untuk mencegah regulasi yang tumpang tindih. Pemerintah pusat perlu memastikan perbaikan koordinasi dengan daerah dalam menyusun kebijakan investasi. Pendekatan tersebut tidak hanya mempermudah investor semata, melainkan juga mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif di seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, peningkatan daya saing juga harus melibatkan sektor swasta. Pemerintah perlu mendorong perusahaan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengadopsi teknologi terkini. Dukungan dalam bentuk insentif pajak, kemudahan akses pembiayaan, dan kemitraan publik-swasta akan membantu perusahaan menjadi lebih kompetitif. Pada jangka panjang, kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta akan menciptakan sinergi yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara menyeluruh.
Permasalahan ICOR, rendahnya daya saing, dan tantangan implementasi OSS adalah isu yang saling terkait. Oleh karenanya, Indonesia dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut melalui pendekatan yang terintegrasi dan sinergitas antar berbagai pihak. Reformasi yang konsisten, fokus pada peningkatan produktivitas, dan penguatan sistem OSS akan menjadi kunci untuk menciptakan iklim investasi yang lebih efisien. Langkah-langkah ini akan memastikan bahwa investasi yang masuk memberikan dampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Semoga.