Gibran, He is the Man
Ahmad Sihabudin
BERBAGAI kalangan menyayangkan dan menyesalkan pernyataan dan tindakan Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (Ara), menyatakan hanya memasang foto Presiden Prabowo Subianto dalam presentasinya saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penyelenggaraan Pemerntah Daerah Tahun 2024 di Sentul, 7 November lalu. Saya menyimak lewat media sosial komentar-komentar yang menyayangkan hal tersebut dilakukan oleh pejabat negara sekelas menteri yang baru saja dilantik.
Alasan sang menteri hanya menampilkan foto Presiden karena merasa satu komando. Ini menurut saya tidak pas, sebab Presiden dan Wakil Presiden dalam bahasa saya itu satu paket, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu kesatuan tidak terpisahkan.
Pembekalan Calon Menteri — Wakil Menteri di Hambalang, Perlu Dilakukan atau Pemborosan?
Saya menyimak pernyataan sang menteri, sekaligus pernyataan keprihatinan atas tindakan tersebut dari seorang politikus, Irma Suryani. Beliau mengatakan sang menteri ini tidak memiliki etika politik, etika bernegara. Seperti kacang lupa kulitnya. Siapa sih Ara? Kalau melihat latar belakangnya ketika ingin bergabung dengan Koalisi Merah Putih, Dia "politisi" yang tidak diperhatikan oleh partainya, kemudian hengkang, minta bergabung dengan barisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo. Padahal, menurut Irma, bisa jadi Pak Jokowi ikut membantu mempromosikan Bung Ara, mungkin juga Mas Gibran turut mempromosikannya pada Pak Prabowo.
Saya pribadi menyesalkan pernyataan Maruarar Sirait soal izin menampilkan foto hanya Prabowo, tidak ada Gibran dengan alasan satu komando, karena berdasarkan konstitusi kita Presiden dan Wakil Presiden satu kesatuan.
Terlepas bung menteri suka atau tidak suka pada Wakil Presiden kita, pernyataan itu saya maknai baik langsung maupun tidak langsung itu telah "melecehkan" Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Tindakan dan pernyataan Menteri Maruarar Sirait, dalam sudut pandang Teori Interaksi Simbolik, akan menimbulkan berbagai reaksi pemaknaan ”makna”, banyak tafsir, khalayak umumnya menafsirkan apa maksudnya ini? ”tidak sukakah sang menteri pada sosok Gibran?”, ”tidak ada rasa hormatkah”, ”cari mukakah sang menteri ini pada Pak Prabowo?”, ”atau ingin membenturkan Presiden dan Wakil Presiden?”.
Masyarakat dapat menafsirkan apa saja atas peristiwa dan tindakan sang menteri. Seperti dalam satu proposisi interaksi simbolik, yang dikemukakan Goerge Herbert Mead, bahwa "Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, benda, dan peristiwa."
"Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan diri sendiri atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam sebuah komunitas. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, makna dimodifikasi melalui proses interpretif.”
Sejak pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, memang ada semacam ”gerakan” mendegradasi muruah Wakil Presiden, dalam berbagai opini obrolan podcast, diskusi, narasi status-status dalam media sosial dari kalangan yang sejak awal kontra pada pencalonan putra Presiden ke-7 RI Jokowi sebagai Wapres. Kalau saya melihat dari sudut pandang interaksi simbolik, sosok Gibran sebagai pimpinan nasional yang semakin bersinar, ketika ada kalangan berusaha mendegradasi harkatnya sebagai Wakil Presiden. Sisi lain sosok pesona Gibran Rakabuming Raka adalah harapan untuk sebagian masyarakat kita.
Fakta perjalanan pencalonan Prabowo mulai mencalonkan sebagai calon wakil presiden dan Presiden, beliau selalu kalah. Sesaat disandingkan dengan sosok Gibran, beliau terpilih dan ditakdirkan sebagai Presiden. Wakil Presidennya, Gibran. Ini kenyataan yang harus kita terima. Kemudian ada semacam pernyataan dan tindakan tidak elok ”dengan gayanya” pada sosok Wapres kita, buat saya rasanya aneh, apalagi dilakukan oleh pejabat negara setingkat menteri. Buat saya tidak masuk akal apa maksudnya.
Di atas saya katakan Bung Ara melecehkan Wakil Presiden, juga banyak masyarakat menilai demikian, seperti kata teori interaksi simbolik, "makna" ada di luar pernyataan dan peristiwanya. Itu konsekuensi dari sifat komunikasi ketika pernyataan dan tindakan itu keluar dari pemiliknya, itu bukan lagi jadi miliknya, tetapi sudah menjadi milik khalayak yang menerimanya. Khalayak akan bebas memaknainya. Banyak pihak mengatakan yang disampaikan Menteri Ara dapat dikatakan bentuk arogansi dan sifat yang jemawa. Seharusnya tidak disampaikan dalam forum terhormat seperti itu, atau dalam forum apa pun tidak patut hal tersebut disampaikan, karena dapat menimbulkan persepsi macam-macam di ruang publik. Sebaiknya kita menghargai konstitusi negara.
Pernah ada seorang alim ulama, mengatakan ketika kita direndahkan dengan alasan yang tidak jelas, Allah SWT Insyaallah akan menaikkan satu atau beberapa derajat harkat dan muruah kita. Komentar sinis pada Gibran memang banyak sejak pencalonan sampai yang bersangkutan dilantik.
Sebagai orang yang suka mengamati fenomena komunikasi di ruang publik, saya melihatnya justru Gibran memiliki kemampuan dan nilai di atas rata-rata, sehingga perlu ”diganggu”. Karena mereka tahu keunggulan Gibran.
Gibran akan menjadi sosok yang tambah mempesona sebagai pemimpin nasional yang menyilaukan para oposannya, menurut tokoh komunikasi dalam sebuah channel YouTube. Gibran, he is the man.