Special Report: Di Bawah Bayangan Perang Dunia Ketiga
SITUASI di Timur Tengah memanas. Terlebih setelah Iran melancarkan serangan berupa ratusan rudal balistik ke Tel Aviv, Israel pada Selasa, 1 Oktober 2024 malam waktu setempat.
Iran melancarkan serangan rudal balistik itu setelah terbunuhnya pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, serta komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Abbas Nilforoushan.
"Iran telah menargetkan jantung wilayah pendudukan dengan puluhan rudal menyusul mati syahidnya (pemimpin Hamas) Ismail Haniyeh, meningkatnya serangan rezim Zionis terhadap Lebanon dan Gaza, mati syahidnya pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dan Komandan Garda Abbas Nilforoushan," demikian pernyataan IRGC.
Israel langsung bereaksi. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, murka atas tindakan Iran tersebut. "Iran membuat kesalahan besar malam ini - dan mereka akan membayarnya," kata Netanyahu, menurut sebuah pernyataan resmi.
Dunia pun bereaksi terhadap hal ini. Gedung Putih menyampaikan solidaritas kepada Israel atas serangan tersebut. "Presiden Biden menyatakan solidaritas dan dukungan penuh Amerika Serikat kepada Israel dan rakyatnya, dan menegaskan kembali komitmen kuat Amerika Serikat terhadap keamanan Israel," demikian pernyataan Gedung Putih.
Presiden AS, Joe Biden, menyebut Israel berhak merespons serangan Iran. Namun, harus tetap berhati-hati dalam menangani korban sipil. Meski begitu, dia tak setuju jika Israel melancarkan serangan ke situs nuklir Iran. "Jawabannya adalah tidak," ucap Biden, melansir Anadolu.
Perang Dunia Ketiga
Dikutip BBC, Panglima Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, Mayjen Hossein Salami, berdiri di depan spanduk besar di ruang perang saat ia menggunakan telepon untuk memerintahkan peluncuran sekitar 200 rudal balistik ke Israel pada Selasa malam.
Spanduk itu menampilkan foto tiga orang yang kematiannya menurutnya ingin dibalas Iran dengan serangan besar; pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh, yang tewas di Teheran pada bulan Juli dalam serangan yang Iran tuduhkan dilakukan Israel, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah serta komandan operasi Pasukan Quds IRGC Brigjen Abbas Nilforoushan, yang tewas dalam serangan udara Israel di Beirut minggu lalu.
Pascaserangan, Iran langsung mengirimkan ancaman agar negara lain tidak turut campur. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi juga mengatakan bahwa dia telah menyampaikan pesan kepada AS melalui kedutaan besar Swiss di Teheran yang memperingatkannya “untuk tidak melakukan intervensi”.
Mereka memperingatkan: “Negara ketiga mana pun yang membantu Israel atau mengizinkan wilayah udaranya digunakan untuk melawan Iran akan dianggap sebagai target yang sah.”
AS memiliki sekitar 40.000 tentara yang ditempatkan di Timur Tengah, banyak di antaranya ditempatkan di Irak dan Suriah. Pasukan ini dapat terancam oleh milisi Syiah yang didukung Iran di kedua negara tersebut.
Jika terlibat berang terbuka, AS bersama sekutu akan menjadi patner Israel dalam perang. Sedangkan Iran diprediksi akan mendapatkan dukungan dari Rusia, China, Korea Utara dan milisi di beberapa negara peyangga seperti Suriah. Lebanon dan Yaman.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai serangan rudal ke Israel merupakan serangan yang tertunda. Dia menyebut, Iran bisa saja sudah melancarkan serangan lebih awal sewaktu pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh di Teheran, serta tewasnya pemimpin Hizbullah.
Namun, Iran baru melakukan serangan ke Israel pada Selasa lalu. "Ini mungkin juga ada lobi-lobi Amerika. Sekarang Iran sudah enggak sabaran karena Hizbullah diserang, Gaza diserang jadi dia melakukan serangan," ujar Hikmahanto saat dihubungi Okezone.
Dia menjelaskan, saat ini tinggal menunggu reaksi Israel terhadap serangan tersebut. Namun, Hikmahanto menilai bakal melakukan lobi-lobi agar Israel tidak melakukan serangan balasan. Jika Israel melancarkan serangan ke Iran, eskalasi bisa kian meningkat hingga bukan tak mungkin Perang Dunia Ke-3 bakal terjadi.
"Sekarang tergantung sama Israel apakah menyerang balik atau tidak. Tapi, saya yakin Amerika sekarang sedang mencoba melobi Israel agar tidak membalas. Karena Amerika tahu kalau misalnya serangan itu dilakukan maka ini bisa bereskalasi ke Perang Dunia Ketiga," tuturnya.
Ini bukan tanpa alasan. Hikmahanto menilai, beberapa waktu lalu Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin sudah datang ke Iran. "Artinya menjanjikan pokoknya dia ada di belakang Iran," ucapnya.
Meski begitu, Hikmahanto menilai, saat ini Joe Biden tengah melobi Israel agar tidak membalas serangan Iran. Ini merujuk pada pernyataan Joe Biden.
Joe Biden tidak percaya perang habis-habisan akan pecah di Timur Tengah. Dia bahkan meyakini Amerika dan Israel dapat menghindari hal itu. "Saya tidak yakin akan terjadi perang habis-habisan. Saya rasa kita bisa menghindarinya," katanya.
Berangkat dari pernyataan ini, Hikmahanto menilai, AS kini tengah melobi Israel agar tidak menyerang Iran. Bahkan, untuk menghentikan agresi ke Gaza dan Hizbullah.
"Kalau menurut saya ini indikasi pernyataan dari Joe Biden ini mengindikasikan bahwa Amerika sedang melobi Israel untuk tidak melakukan serangan balasan dan untuk Israel menghentikan serangan ke Gaza dan Hizbullah," tuturnya.