Kerajaan Sriwijaya, Cikal Bakal Dinasti Sailendra Sekaligus Pusat Peradaban Agama Buddha Dunia 

Kerajaan Sriwijaya, Cikal Bakal Dinasti Sailendra Sekaligus Pusat Peradaban Agama Buddha Dunia 

Nasional | okezone | Jum'at, 20 September 2024 - 08:36
share

KERAJAAN SRIWJAYA , menjadi salah satu kerajaan besar di nusantara. Kerajaan di Pulau Sumatera itu bahkan menjadi pusat peradaban dan perkembangan agama Buddha, serta pusat ekonomi nusantara di abad 7 Masehi.

Namun perlu diketahui, nama Sriwijaya baru dikenal sejak tahun 1918, saat George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Criwijaya. Beberapa waktu berikutnya, ahli sejarah Prof. Kern menerbitkan piagam Kota Kapur, salah satu piagam Kerajaan Sriwijaya dari tahun 686.

Ia masih menganggap bahwa nama Sriwijaya yang tercantum pada piagam tersebut adalah nama seorang raja, karena cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan.

Kerajaan ini memiliki berbagai nama yang ditafsirkan oleh beberapa ahli. Pada karya I-tsing misalnya nama Sriwijaya belum dikenal. Bahkan dalam buku yang ditulis oleh Prof. Chavannes pada tahun 1894 ke dalam bahasa Perancis, menyebut Sriwijaya sebagai Shih-li-fo-shih.

Sebagaimana dikutip dari buku "Sriwijaya", dari Prof. Slamet Muljana awalnya Shih-li-fo-shih itu dikira transkripsi Tionghoa dari nama asli Sribhoja. Nama Shih-li-fo-shih, yang sering kali disingkat Fo-shih saja, digunakan untuk menyebut negara, ibu kota pusar kerajaan, dan sungai yang muaranya digunakan sebagai pelabuhan.

Terjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, di mana terdapat nama Sriwijaya, dan terjemahan karya I-ts'ing, di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih, memungkinkan Coeds untuk menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama negara di Sumatra Selatan, yang ditranskripkan ke dalam tulisan Tionghoa Shih-li-fo-shih.

Beal pada tahun 1886 telah mengemukakan pendapatnya, bahwa negara Shih-li-fo-shih terletak di tepi sungai Musi dekat kota Palembang. Namun, pada pertengahan kedua abad ke-19 itu, nama Sriwijaya belum dikenal.

Kerajaan itu masih disebut dengan nama Tionghoa yang tidak diketahui nama aslinya. Meskipun anggapan itu boleh dipandang sebagai penemuan ilmiah yang asli, namun karena kepincangan tersebut masih kabur sekali.

Bagaimanapun, harus diakui bahwa ilmu sejarah Sriwijaya adalah penemuan Coeds dan lahir dari kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lainnya. Penemuan Coeds ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu pengetahuan sejarah, terutama dalam sejarah Asia Tenggara.

Lokasi Kerajaan Sriwijaya kala itu memang cukup ideal dalam pelayaran perdagangan antar negara. Tercatat pedagang-pedagang dari Jawa, India, Arab, dan Tiongkok lalu lalang di kawasan wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.

Maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional. Dengan sendirinya sejarah Sriwijaya itu berhubungan dengan sejarah negara-negara lain yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalan lalu-lintas, dan namanya teringat pula dalam sejarah asing Apalagi, karena terbukti bahwa Sriwijaya merupakan salah satu negeri besar di antara negeri-negeri di laut Selatan.

Letak Kerajaan Sriwijaya sendiri ternyata disebut Moens, tidak sepenuhnya berada di Palembang atau Sumatera Selatan. Pada mulanya pusat kerajaan itu terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatra Tengah dekat Muara Takus. Sangat menarik perhatian, bagaimana Moens menggunakan berita- berita geografi untuk menegakkan teorinya.

Dari sejarah Sung, tercatat bahwa empat hari perjalanan dari Cho-p'o orang sampai di laut; jika berlayar ke arah barat laut sesudah lima belas hari, orang sampai di P'o-ni, dan lima belas hari lagi sampai di San-fo-ts'i. Juga diberitakan bahwa San-fo-ts'i terletak di antara dan Cho-p'o. Berdasarkan berita geografi itu, Moens mengambil kesimpulan bahwa San-fo-ts'i terletak di Semenanjung Melayu.

Sementara, berita Arab yang berasal dari Abu Zaid juga menyimpulkan letak San-fo-tsi berada di pantai timur Semenanjung. Moens menyamakan San-fo-tsi dengan Kadaram, yang membuatnya terpaksa melokalisasi Kadaram di pantai timur semenanjung.

Abu Zaid pun menyimpulkan pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Muara Takus. Hal ini didasari dua hal pertama berita I-tsing mengenai bayang-bayang diwelacakra yang tidak menjadi panjang atau pendek, pada pertengahan bulan delapan. Pada tengah hari, orang yang berdiri di matahari tidak berbayang-bayang sama sekali. Muara Takus terletak pada garis ekuator O. 20' N. Jadi, cocok dengan berita I-ts'ing.

Kedua, anggapan Muara Takus merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya didasari berita ahli peta Tionghoa Chia Tan, yang menyatakan bahwa di sebelah utara Cih-Cih (Selat Malaka) terletak kerajaan Lo-yueh, dan di sebelah selatan terletak kerajaan Shih-li-fo-shih. Berita itu pun cocok dengan penempatan pusat kerajaan di Muara Takus.

Namun dari sejumlah pendapat para ahli itu, Prof. Slamet Muljana sejarawan Indonesia menyimpulkan letak Kerajaan Sriwijaya berada di tepi sungai, di sebelah tenggara (timur) Pelabuhan Melayu (Jambi), dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Satu-satunya tempat yang, memenuhi syarat-syarat tersebut adalah muara Sungai Musi di daerah Palembang. Tempat itu terletak pada garis 30 104' LS.

Pada zaman I-tsing nama Palembang belum dikenal sebagai nama tempat di muara Sungai Musi. Bahkan nama Sungai Musi pun belum dikenal sebagai nama sungai, sebab baik nama sungainya maupun nama kota dan kerajaannya disebut Fo-shih atau Sriwijaya.

Sayang perkembangan secara fisik Kerajaan Sriwijaya belum banyak ditemukan. Meski demikian diakui dari catatan - catatan sejarah kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan yaitu negara bahari, namun kerajaan ini tak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara.

Diolah dari berbagai sumber, Kerajaan Sriwijaya telah benar sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di dikenal imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit yaitu prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.

Para ahli berpendapat dengan mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Dimana di masa abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tak berbakti untuk Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang probabilitas akbar dampak agresi Sriwijaya.

Probabilitas yang dimaksud dengan Bhumi Jawa yaitu Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Lokasinya yang strategis menjadikan Sriwijaya pengendali jalur perdagangan antara kawasan India dan China, yaitu dengan menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.

Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya memperagakan pembelian kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan memerankan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan memperoleh restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk bisa jualan dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran sela Tiongkok dan India

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya juga menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, diketahui ada temuan berupa reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Hal ini terjadi karena Maharaja Dharmasetu pada abad ke-7, konon pernah melancarkan agresi ke kota-kota pantai di Indochina, disebabkan mulai ramainya Pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina dengan para pedagang.

Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada masa zaman yang sama. Di masa penghabisan masa abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, diantaranya Tarumanegara dan Holing benar di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.

Letaknya yang strategis dari sisi perdagangan juga membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pengajaran agama Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Diantaranya pendeta dari Tiongkok I-tsing, yang memperagakan lawatan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695.

I-Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah untuk sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pendeta yang berusaha bisa agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.

Kendati secara ekonomi dan militer kuat, namun tak banyak peninggalan sejarah yang dimiliki Kerajaan Sriwijaya. Hal ini berbeda dengan trah mereka dari Wangsa Sailendra yang berpindah ke Jawa Tengah yang banyak mendirikan peninggalan candi besar, seperti Candi Kalasan, Candi Borobudur, maupun Candi Sewu.

Tercatat, hanya ada beberapa candi - candi Buddha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera diantaranya Candi Muara Takus, Candi Muaro Jambi, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Topik Menarik