Di Bawah Todongan Senjata LB Moerdani Gagalkan Penculikan Jenderal AH Nasution
JAKARTA - Sejumlah kisah legendaris ditorehkan oleh para prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dengan keahlian bertempur, prajurit baret merah kerap perkasa dan memenangkan pertempuran.
Salah satu sosok legendaris dalam Kopassus adalah Kolonel Inf. Agus Hernoto, yang prestasinya memperoleh penghargaan tinggi berupa medali "Bintang Sakti" dari Presiden Soeharto pada 1987. Medali ini diberikan sebagai bentuk pengakuan atas keberanian dan ketabahan di luar panggilan tugas militer.
Meskipun mencapai puncak penghargaan, Agus Hernoto memiliki sebuah pengalaman menegangkan dalam kariernya. Pada suatu waktu, ketika masih berpangkat sersan mayor, ia nekat menodongkan senjata ke wajah Benny Moerdani, yang saat itu berpangkat Letnan, kendati pada akhirnya tidak terjadi penembakan.
Melansir "Kolonel Inf. Agus Hernoto: Legenda Pasukan Komando dari Kopassus Sampai Operasi Khusus, cerita menegangkan ini berakar dari kekecewaan sejumlah prajurit Kopassus terhadap kepemimpinan Mayor Djaelani, Komandan RPKAD pada masa itu.
Rencana penculikan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H Nasution yang diprakarsai Panglima Tentara Teritorium I Kolonel Zulkifli Lubis menjadi penyebab ketegangan. Lubis mengajak sejumlah perwira Divisi Siliwangi, di antaranya Komandan Resimen Infanteri ke-9 di Cirebon Letnan Kolonel Kemal Idris, dan Komandan Resimen Infanteri ke-11 Mayor Soewarto di Tasikmalaya. Termasuk Komandan RPKAD Mayor Djaelani.
Lubis mengajak saya dan Komandan RPKAD Djaelani untuk menyerbu Jakarta. Saya mengajak beberapa pasukan di RPKAD dari Bandung. Tujuannya untuk mengganti KSAD yang dijabat oleh Nasution," kenang Kemal Idris seperti dikutip.
"Sebelum rencana menyerang Jakarta saya hanya dua kali bertemu dengan Zulkifli Lubis dan Djaelani. Kami membicaran ketidakpuasan terhadap Pusdik Angkatan Darat yang saat itu dipimpin oleh Nasution. Kami mendambakan keadaan yang teratur dan normal hingga dapat mencapai suatu perkembangan, imbuhnya.
Dalam sejumlah rapat yang digelar diputuskan pasukan Siliwangi dan RPKAD akan bertemu di Kranji, Bekasi. Saat itu, Mayor Djaelani membawa peleton Kompi A di mana komandan kompinya adalah Benny Moerdani.
Sementara Benny tidak ikut karena sakit dan harus menjalani perawatan di rumah sakit Cimahi. Setibanya di Kranji, Djaelani tidak mendapati pasukan Divisi Siliwangi. Djaelani pun memutuskan untuk kembali ke Batujajar, Bandung. Kegagalan ini karena A.H Nasution telah mengetahui rencana penculikan dirinya.
Informasi tersebut diperoleh dari perwira intelijen Letkol Soekendro yang disusupkan sejak lama. Persis pada hari H, Nasution melucuti para perwira yang bersimpati pada gerakan itu di antaranya membebastugaskan dua tokoh utama penculikan yakni Kemal Idris dan Soewarto.
Termasuk Kolonel Sukanda Bratamanggala dan Kolonel Sapari. Meski gagal, Djaelani tetap pada rencana awal dan meneruskan upaya penculikan tersebut.
Bahkan, Zulkifli Lubis yang datang langsung ke Batujajar mendorong Djaelani dan RPKAD untuk menajamkan rencananya tersebut. Di hadapan para perwiranya, Djaelani memberikan waktu 2x24 jam untuk berpikir ikut atau tidak dalam gerakan ini.
Djaelani juga menginstruksikan kepada jajarannya untuk berkumpul di kantor komandan. Pagi hari, tepatnya 26 November 1956 sekitar pukul 06.00 WIB rentetan tembakan memecah kesunyian Kompleks Asrama RPKAD di Batujajar, Bandung. Pasukan Kompi B yang tidak setuju dengan gerakan penculikan mengamuk. Mereka terlibat baku tembak dengan perwira Kompi A.
Tidak berhenti sampai di situ, pasukan yang marah kemudian mencari keberadaan Djaelani, komandannya yang ketika itu berada di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD).
Di sisi lain, Benny yang tidak mengetahui persoalan tersebut terkejut ketika langkahnya dihentikan saat hendak masuk ke markasnya.
Mau kemana? gertak Sersan Agus Hernoto sambil menodongkan senapannya ke wajah Letnan Dua (Letda) Benny Moerdani.
Loh, ke kantor, jawab Benny.
Lha kalian mau kemana? tanya Benny kepada Agus Hernoto.
Ke Pak Djaelani, dia mengkhianati kita semua, jawab Agus Hernoto.
Benny kemudian mengikuti dari belakang rombongan Agus. Saat itu, mantan Panglima ABRI ini menyaksikan sejumlah perwira sudah ditahan dalam sebuah ruangan. Benny satu-satunya perwira yang tidak diringkus karena semua orang tahu dia selama sebulan sakit.
Benny kembali bertanya kepada para pasukan yang ada Ada apa ini? tanya Benny Pak, komandan mengkhianati kita. Para perwira ini mengkhianati kita, kita bunuh saja mereka, jawab para bintara serentak.
Mereka terlihat tidak sabar menunggu perintah untuk menarik picu senjatanya. Namun, Benny dengan sigap melarangnya.
Taruh-taruh itu semua senjatanya. Serahkan semua kepada saya, kata Benny.
Benny bersama Agus Hernoto dan beberapa prajurit Kopassus lainnya menuju SSKAD.
Selanjut Benny menjelaskan peristiwa yang terjadi di Batujajar kepada Djaelani. Mendapat penjelasan tersebut, Djaelani akhirnya menyerah dan memberikan pistolnya kepada Benny Moerdani.
Peristiwa ini justru memperkuat hubungan persahabatan antara Benny Moerdani dan Agus Hernoto. Setelah peristiwa tersebut, Benny dan Agus Hernoto semakin dekat.
Ketika Agus Hernoto dikeluarkan dari RPKAD dan diundang oleh Benny untuk bergabung di Opsus yang dikelola oleh Wakil Asisten Intelijen Kostrad, Mayjen TNI Ali Moertopo, mereka menjalin persahabatan seumur hidup.