Mengembalikan  Persahabatan Indonesia-Rusia

Mengembalikan Persahabatan Indonesia-Rusia

Nasional | sindonews | Rabu, 4 September 2024 - 05:05
share

"SELAMAT datang. Kami mengenal Anda dengan baik, kami mengenal Anda sebagai teman negara kami," ucap Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin , seperti dilaporkan situs resmi Presiden Rusia kremlin.ru , saat menyambut kedatangan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto .

Momen pertemuan Prabowo dengan Putin terjadi kala kunjungan ke Moskow pada 31 Juli 2024. Saat menerima Prabowo, Putin didampingi sejumlah pejabat Negeri Beruang itu, di antaranya Ketua Komisi Gabungan Rusia-Indonesia untuk Kerja Sama Perdagangan, Ekonomi, dan Teknik Denis Manturov, serta Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergei Lavrov.

Selain menyinggung kerja sama perdagangan kedua negara yang terus menunjukkan tren peningkatan, Putin tak luput mengucapkan selamat kepada Prabowo yang menjadi Presiden Indonesia terpilih. Dia pun memberikan doa terbaik untuk Prabowo agar bisa melayani negara dan rakyat Indonesia sebaik-baiknya.

Putin meyakini aktivitas Prabowo sebagai kepala negara akan berkontribusi terhadap seluruh kerja sama Rusia-Indonesia, termasuk memperkuat keamanan dan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik. "Saya mengandalkan dialog konstruktif dengan Anda dan kerja sama yang bermanfaat mengenai isu-isu topikal dalam agenda bilateral dan internasional," kata Putin.

Sebaliknya, Prabowo memanfaatkan pertemuan untuk menyampaikan selamat kepada Putin yang kembali terpilih sebagai Presiden Federasi Rusia. Prabowo menandaskan bahwa Rusia adalah sahabat baik dan dirinya ingin terus menjaga dan meningkatkan hubungan ini dalam sejarah kedua negara.

Mantan Danjen Kopassus itu lalu mengingatkan kembali hubungan Indonesia-Rusia yang sudah berlangsung lama, sejak era Uni Soviet. Menurut Prabowo, Uni Soviet telah banyak membantu pembangunan di Indonesia, salah satunya Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Prabowo juga mengaku dirinya sudah empat kali ke Rusia dalam 4 tahun terakhir dan memiliki kenangan hangat dengan negeri tersebut. Dia pun menegaskan keinginannya untuk meningkatkan hubungan bilateral kedua negara saat menjabat Presiden Republik Indonesia secara resmi pada tanggal 20 Oktober 2024. Dia mengaku telah berdiskusi secara intensif dengan tim Putin.

Sekilas, pertemuan Prabowo-Putin dan dialog kedua tokoh tersebut tak ubahnya pertemuan resmi antar-pemimpin negara yang lazim diwarnai basa-basi diplomasi. Namun bila diresapi, interaksi mereka lebih dari sekadar formalitas. Secara instrinsik, termuat makna dua negara bersahabat yang lama melakukan hubungan baik, sempat mengalami stagnasi, dan kemudian membuat komitmen kembali memperkuat persahabatan di masa depan.

Konteks ini menjadi relevan kehadiran Prabowo bukan hanya sebagai menteri pertahanan, tapi sebagai presiden terpilih yang menunggu pelantikan pada 30 Oktober nanti. Sebaliknya Putin menegaskan superioritas kepemimpinannya setelah memenangkan pemilu pada 17 Maret 2024, yang memberi otoritas kepadanya memegang kendali kepemimpinan Rusia untuk periode ketiga, bahkan diproyeksikan hingga 2036 karena dia sudah menandatangi konstitusi yang telah diamandemen melalui referendum pada 2020.

Dengan demikian, di tangan kedua pemimpin inilah masa depan hubungan Indonesia-Rusia akan diukir. Terutama, dari sisi hubungan atau kerja sama pertahanan kedua negara, yang merupakan isu krusial dan menjadi tolok ukur sejauh mana relasi bilateral terbangun. Lebih jauh, dampak yang diharapkan tidak berhenti pada peningkatan hubungan bilateral, tapi juga berdampak pada stabilitas internasional, terutama di kawasan Indo-Pasifik.

Untuk memahami urgensi penegasan komitmen memperkuat persahabatan kedua negara, tentu harus memahami bagaimana sejarah hubungan Indonesia-Rusia dan seperti apa dinamika yang mewarnai perjalanan hubungan bilateral tersebut? Tak kalah pentingnya adalah, langkah seperti apa yang bisa diambil agar cita-cita bersama bisa terwujud?

Bantu Perjuangan Kemerdekaan

Indonesia-Rusia seolah sudah ditakdirkan menjalin persahabataan sejati. Betapa tidak, negara yang dulu bernama Uni Sovyet sudah mendukung eksistensi Indonesia sejak awal diproklamasikan. Secara kongkret perwakilan Uni Sovyet di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu berada di belakang Indonesia dalam setiap momen krusial, seperti untuk mendapat pengakuan kemerdekaan hingga menghadapi Agresi Belanda I dan II.

Laporan Hubungan Bilateral Antara Indonesia dan Rusia yang dimuat dalam kemlu.go.id menyebut tahun 1956-1962 sebagai puncak kemesraan hubungan Indonesia-Uni Soviet. Hal ini tercermin dari kunjung-mengunjungi di antara dua pemimpin negara. Dari Indonesia, Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow pada 28 Agustus-12 September 1956, dan kembali mengunjungi ke negeri tersebut pada 1961. Sebaliknya dari Uni Sovyet, pada tahun 1957 Ketua Presidium Uni Soviet Tertinggi K.Y. Voroshilov datang ke Jakarta. Kemudian di Februari 1960 giliran Perdana Menteri (PM) Nikita Khuschev berkunjung ke Indonesia.

Silaturahmi tersebut melahirkan kesepakatan meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, maupun militer. Proyek kerja sama yang terwujud antara lain pembangunan Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGB), Hotel Indonesia, pembangunan jalan, jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia, pembangunan pabrik baja, dan fasilitas infrastruktur lainnya. Hingga kini banyak bangunan masih gagah berdiri dan menjadi monumen kokohnya persahabatan Indonesia-Rusia.

Dukungan krusial ditegaskan Uni Sovyet saat Indonesia berjuang membebaskan Irian Barat dari Belanda dan mengembalikannya ke pangkuan Ibu Pertiwi atau Operasi Trikora. Kala itu, Indonesia sangat membutuhkan alutsista gahar agar bisa mengusir Belanda. Pendekatan sebelumnya dilakukan ke Amerika Serikat (AS) gagal karena hubungan Paman Sam dengan Belanda.

Sebaliknya, ketika Jakarta mendatangi Uni Sovyet yang merupakan musuh AS dalam perang dingin (cold war), Nikita Khruschev yang menyambut kedatangan Jenderal TNI AH Nasution di Moskow langsung menyatakan Indonesia bisa mendapatkan semua peralatan militer dari Uni Soviet.

Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama mengaku berhasil membawa alutsista senilai USD450 juta dengan mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun, dengan bunga 2,5 persen. Alutsista yang berhasil diboyong ke Tanah Air meliputi 12 kapal selam, tank, kapal roket cepat, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai persenjataan berat.

Tepat pada 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan militer, dan pada awal tahun 1962 berbagai jenis alutsista mulai dikirim secara berkesinambungan ke Indonesia. Dalam kurun waktu singkat, Indonesia menjadi didgaya di belahan bumi bagian selatan, dan berhasil memaksa Belanda meninggalkan Irian Barat, dan secara total mengakhiri sejarah kolonialisme di Nusantara.

Kemesraan Indonesia-Uni Sovyet luruh begitu saja sejak meletusnya G-30 S PKI pada 1965. Peristiwa yang diikuti dengan pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, serta merta menggeser kiblat Indonesia ke Barat. Perubahan ini lambat laun menenggelamkan sepak terjang hubungan Indonesia-Uni Sovyet.

Baru pada 1989 momentum normalisasi terjadi saat Presiden Soeharto pada 7-12 September berkunjung ke Uni Sovyet dan menandatangani Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Uni Republik-Republik Soviet Sosialis. Dokumen tersebut mempunyai arti penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerja sama guna mengembangkan lagi kerja sama di berbagai bidang.

Tren demokratisasi pada 1990 yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin sekaligus mengakhiri perang dingin (cold war) antara Blok Barat vs Blok Timur menjadikan Uni Sovyet sebagai salah satu pesakitan. Negara adidaya yang dibentuk 30 Desember 1922 dinyatakan bubar pada 25 Desember 1991. Selanjutnya, pada 28 Desember 1991 melalui surat Menlu Republik Indonesia Ali Alatas yang ditujukan kepada Menlu Andrei Vladimirovich Kozyrev, Indonesia resmi mengakui Federasi Rusia sebagai pengganti sah atau legal successor Uni Soviet.

Pada pemerintahan pasca-Soeharto, hubungan bilateral Indonesia-Rusia terus mengalami perkembangan, terutama setelah penandatanganan Deklarasi Kerangka Kerjasama Hubungan Persahabatan dan Kemitraan antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia dalam Abad ke-21 (Declaration of the Republic of Indonesia and the Russian Federation on the Framework of Friendly and Partnership Relations in the 21st Century) yang dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Putin di Rusia (21/04/2003). Dokumen inilah yang membentuk landasan baru kerja sama strategis pada level bilateral, regional, hingga global antara Indonesia-Rusia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Rusia pada 1 Desember 2006 mengukuhkan kerja sama kedua negara. Begitupun kunjungan Putin ke Indonesia pada 6 September 2007, yang merupakan kali pertama pemimpin Federasi Rusia berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan bersejarah tersebut, salah satu kesepakatan bilateral yang disepakati adalah state loan Rusia senilai USD1miliar untuk pengadaan alutsista made in Rusia.

Dari Sukhoi Terbentur CAATSA

Keputusan Indonesia memborong pesawat tempur dan sejumlah alutsista buatan Rusia pada medio 2017 seolah mengulang cerita masa lalu di era Orde Lama. Embargo militer yang dijatuhkan AS dan blok Barat, terutama Inggris, kepada Indonesia pasca-insiden Santa Crus pada 12 November 1991, menjadikan kekuatan militer Indonesia pada titik nadir terlemah karena minimnya modernisasi, dan di sisi lain alutsista yang dimiliki kian menua.

Megawati Soekarnoputri yang memegang tampuk kepemimpinan merasa semakin prihatin karena beberapa pesawat tempur TNI AL yang menjalani perbaikan di Korea Selatan dilarang dibawa balik ke Tanah Air. Dalam kondisi itulah, Megawati bertemu dengan Dubes Rusia dan meminta dipertemukan dengan Putin untuk membeli alutsista, dalam hal ini pesawat Su-27 SK dan Su-30 MK2.

Pengalaman Putri Proklamator Bung Karno ini dituturkan saat acara Peluncuran 58 Judul Buku dalam Rangka Hari Jadi Ke-58 Lemhannas RI, pada 20 Mei 2023. Bagi Presiden RI ke-5 ini, walaupun ketika itu perekonomian Indonesia masih mengalami kesulitan, memperkuat angkatan bersenjata harus tetap menjadi prioritas.

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim dalam diskusi virtual yang digelar Pusat Studi Air Power Indonesia (17/2/2022) menuturkan pembelian 4 Sukhoi Su-27 SK dan Su-30 MK2, plus helikopter MI-35, pada 2003 dilakukan karena Indonesia dalam kondisi diembargo AS. Menurut dia, negeri ini tidak bisa berdiam diri karena sistem pertahanan tidak berjalan.

Diungkapkan pula, pembelian dilakukan dengan metode imbal dagang, sebagian secara tunai dan sisanya menggunakan komoditas. Dalam perjalanan, Indonesia memiliki 5 Sukhoi SU-27 SK dan 11 SU-30 MK2. Sebagai informasi, kelahiran Sukhoi SU-27 SK diarahkan untuk menyaingi jet tempur andalan AS seperti F-14, F-15, F-16, dan F-18. Sedangkan Su-30 MK2 untuk mengimbangi F/A-18E/F Super Hornet dan F-15E Strike Eagle.

Selain mendatangkan Sukhoi, pemerintah pada saat hampir bersamaan juga mengakuisisi helikopter serbu Mil Mi-35P dan helikopter angkut Mil Mi-17. Kedua alutsista sayap putar ini diperuntukkan bagi Penerbad TNI AD. Selain itu, pemerintah juga memborong kendaraan infanteri (infantry fighting vehicle/IFV) BMP-3F untuk Korps Marinir TNI AL. Sebelumnya, pasukan pendarat amfibi tersebut menggunakan PT-76 yang juga buatan Rusia.

Selanjutnya, pada 2017 Indonesia di bawah Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah menandatangani kontrak akuisisi 11 unit Su-35 dengan pabrikan Rostec asal Rusia. Rencananya, pesawat generasi teranyar Rusia kala itu diproyeksikan menggantikan armada F-5 yang sudah uzur. Pembelian yang juga dilakukan melalui skema barter tersebut matang digodok oleh pihak terkait di dua negara.

Tidak cuma pesawat tempur, pemerintah juga berencana menambah alutsista untuk Korps Marinir TNI AL. Untuk proyek ini, Kementerian Pertahanan melalui Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan JSC Rossoboronexport Rusia untuk akuisisi 22 unit BMP-3F dan 22 unit kendaraan amfibhi BT-3F. Malahan belakangan, untuk BT-3F yang bakal diborong bertambah menjadi 79 unit dan akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna pertama di luar Rusia. Kedatangan BT-3F diarahkan menggantikan BTR-80 APV yang sudah termakan usia.

Sayangnya, program akuisisi alutsista asal Rusia yang sudah digodok selama dua tahun berhenti seketika di tengah jalan karena terdampak kebijakan Countering Americas Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang dirilis AS. Selain menimpa Indonesia, tekanan juga dialami Turki, India dan China yang juga berencana membeli alutsista Rusia -dalam hal ini rudal S-400 Triumf. Bahkan akibat sanksi tersebut, Turki didepak AS dari program pesawat tempur generasi 5.0, yaitu pesawat F-35.

Berdasar sejumlah informasi yang mengutip situs Kementerian Keuangan AS, beleid ini diloloskan Senat AS pada 27 Juli 2017, setelah disetujui Dewan Perwakilan AS. Presiden AS Donald Trump mengesahkan undang-undang tersebut pada 2 Agustus 2017. CAATSA dibuat untuk memperluas hukuman berupa sanksi dan embargo yang sudah ada sebelumnya, kepada negara yang membeli alutsista dari negara yang dicap sebagai musuh AS, yakni Rusia atau Iran, serta menjalin hubungan dagang dengan Korea Utara.

Wakil Duta Besar Rusia di Jakarta, Oleg V Kopylov dalam jumpa pers di kantornya (18/12/2019) mengungkapkan, Indonesia sebenarnya tetap berkeinginan melanjutkan kontrak pembelian Sukhoi SU-35, meski beberapa negara mencoba mengancam Indonesia. Pihak Kementerian Pertahanan Indonesia pun telah menegaskan Indonesia tidak bisa diintervensi negara manapun dalam mengambil keputusan, termasuk soal pembelian alutsista.

Namun realitasnya, transaksi tersebut masih berhenti hingga 2024 ini. Perang Rusia vs Ukraina yang pecah sejak 24 Februari 2022 semakin menenggelamkan agenda strategis tersebut. Setelah 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Rusia yang jatuh pada 2020 lalu, kerja sama yang semestinya kian berkembang justru macet karena faktor eksternal.

Mendayung Antara Dua Karang

Momen pertemuan Prabowo dengan Presiden Rusia kala kunjungan ke Kremlin pada 31 Juli 2024 lalu bisa menjadi batu pijakan untuk mengembalikan kemesraan hubungan Indonesia-Rusia. Berbagai dinamika internasional semestinya tidak boleh menjadi halangan kerja sama, termasuk dalam bidang pertahanan

Pengamat Kebijakan Hubungan Internasional dari Fisipol UGM, Dr Dafri Agus Salim, MA dalam keterangannya kepada wartawan (07/08/2024) melihat kunjungan Prabowo memberi sinyal kemungkinan pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia. Pergeseran dimaksud yakni dari kebijakan berorientasi agak ke barat berganti menoleh ke agak timur. Selain berkunjung ke Rusia, indikatornya bisa dilihat dari kunjungan Prabowo ke Turki dan China. Kondisi demikian tentu serta merta berpengaruh pada hubungan politik luar negeri Indonesia dengan AS.

Dalam pandangannya, kunjungan itu juga mengindikasikan bahwa Prabowo ingin Indonesia tampil di dunia internasional sebagai negara yang mampu menghimpun kekuatan Timur, dan menemukan ruang baru bagi kerja sama ekonomi perdagangan Indonesia, di luar negara-negara Barat. Tak kalah strategis, langkah itu meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara Barat yang selama ini dianggap menekan dan mengabaikan kepentingan Indonesia.

Dafri Agus Salim lalu menggariskan, pergeseran orientasi politik luar negeri yang terjadi pada setiap pergantian kepemimpinan nasional menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat menjalankan politik bebas aktif murni. Menurut dia, berbagai langkah yang dilakukan lebih cenderung bersifat pragmatis.

Apa yang disampaikan Dafri Agus Salim mengingatkan pada pidato Proklamator Bung Hatta dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta, 2 September 1948, yang kemudian dijadikan buku berjudul Mendajung Antara Dua Karang. Pesan pidatonya, Bung Hatta menggariskan dasar kebijakan politik luar negeri bebas aktif tetap relevan sampai sekarang (konteks saat itu tatanan dunia terpolarisasi ke dalam dua blok yang saling berebut pengaruh, blok barat dan blok timur). Menghadapi kondisi ini, Indonesia tidak boleh pasif dalam kancah politik di dunia.

Apakah itu murni implementasi politik bebas aktif atau pragmatis, langkah yang dilakukan Prabowo berkunjung ke Rusia menemui Putin bisa mengubah pendulum kebijakan pertahanan Indonesia yang menjauhi Rusia karena faktor tekanan AS. Memahami pemikiran Bung Hatta yang mencerminkan kebijakan Indonesia saat itu, Prabowo bisa mempraktikkan politik mendayung antara dua karang, sehingga kebijakan yang diambil tidak menegasikan satu sama lain, dalam hal ini AS versus Rusia.

Rencana latihan bersama Orruda 2024 yang melibatkan TNI AL dan Angkatan Laut Rusia (Russian Navy) bisa menjadi simbolisasi pengembalian hubungan baik Indonesia-Rusia yang sudah terjalin lama. Program tersebut sudah digodok perwira Angkatan Laut Indonesia-Rusia dalam Final Planning Conference (FPC) yang digelar di Surabaya bulan Juni 2024. Latihan yang kali pertama digelar kedua negara bersahabat semenjak kemerdekaan Indonesia 79 tahun silam bisa menjadi milestone baru kerja sama ke depan.

Langkah lebih kongkret bisa dilakukan dengan mengaktivasi kontrak akuisisi alutista TNI yang terhenti, baik Sukhoi SU-35, BMP-3F, ataupun BT-3F. Belajar dari kasus India, negeri tersebut tidak takut dengan ancaman CAATSA dengan tetap memborong rudal strategis S-400 dari Rusia senilai Rp79 Triliun. Menhan India Nirmala Sittharaman sejak awal sudah menegaskan bahwa CAATSA bukan hukum PBB dan tidak bisa diterapkan di negara.

Dia juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil negaranya bukanlah tentang India harus memilih AS atau Rusia, tetapi tentang kerja sama yang telah dibangun India dan Rusia selama puluhan tahun. Sikap ini telah dia sampaikan kepada pejabat AS yang berkunjung ke India, dengan menegaskan bahwa hubungan India- Rusia tidak akan lekang oleh waktu.

Sikap tegas India bisa menjadi inspirasi Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Prabowo nanti, dengan meneruskan program akuisisi alutsista tanpa terpengaruh tekanan eksternal. Jika masih mengkhawatirkan ancaman CAATSA, Indonesia bisa mengurangi target akuisisi dengan menunda pembelian Sukhoi SU-35, tetapi tetap memenuhi kebutuhan Korps Marinir TNI AL yang memang sudah terbiasa dengan alutsista Rusia, dalam hal ini mendapatkan BMP-3F dan BT-3F.

Opsi kompromi bisa diambil mengingat Indonesia sudah mengakuisi pesawat Dassault Rafale dari Prancis yang bisa menjadi subtitusi Sukhoi SU-35. Di sisi lain, keputusan memborong 24 pesawat F-15-EX dan 24 uni Sikorsky S-70M Black Hawk bisa dimanfaatkan sabagai alat tawar Indonesia untuk meneruskan rencana akuisisi alutsista Rusia yang tertunda.

Namun yang paling berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya Indonesia meneruskan rencana akuisisi alutista made in Rusia adalah sejauh mana Prabowo dan jajarannya nanti mampu mendayung di antara dua karang, Rusia dan AS, atau melakukan pendekatan diplomasi. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana Prabowo berani memainkan bargaining position -nya sehingga AS tidak semaunya mendiktekan agendanya kepada kebijakan luar negeri atau pertahanan Indonesia dan mengganggu kerja sama Indonesia dengan negara sahabat.

Targetnya jangan berhenti pada kerja sama alutsista, tapi juga program-program kerja sama strategis Indonesia-Rusia seperti bantuan keamanan informasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), pembelian minyak mentah murah dari Rusia, pembangunan pembangkit tenaga nuklir, dan lainnya. Muaranya adalah Indonesia kokoh sebagai negara non-blok yang bebas bergaul dengan negara manapun demi mewujudkan kepentingan nasional. ( * )

Topik Menarik