Kisah Pertempuran Melawan Penjajah Jepang, Jihad Dimulai dari Aceh

Kisah Pertempuran Melawan Penjajah Jepang, Jihad Dimulai dari Aceh

Nasional | okezone | Sabtu, 17 Agustus 2024 - 08:16
share

JEPANG pernah menjajah Indonesia selama 3,5 tahun sejak 1942. Tapi walaupun singkat, penderitaan dialami rakyat sangat luar biasa bahkan melampaui yang dialami masa penjajahan Belanda. Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) dengan penyiksaan kejam hingga membunuh pribumi dengan tanpa belas kasih. Itulah yang membuat rakyat melawan.

Jepang masuk ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada 11 Januari 1942. Saat awal masuk, Jepang membawa harapan baru karena dianggap sebagai revolusi atas penjajahan Belanda dan cepat diterima oleh rakyat Tanah Air.

Celakanya itu hanya akal bulus Jepang untuk memperkuat basisnya di Nusantara. Begitu semua lini sudah kuasai, mulailah Jepang berlaku semena-mena ke rakyat. Pendudukan bangsa Jepang membawa kesengsaraan mendalam bagi rakyat.

Jepang mengabaikan hak-hak rakyat, mereka hanya ingin mengeruk kekayaan bumi Nusantara. Akibatnya rakyat yang marah dengan perlakukan keji Jepang membuat perlawanan. Tiap daerah ada aja pejuang yang melawan Jepang, terutama di Aceh.

Aceh telah membuktikan salah satu wilayah yang tak bisa ditaklukkan oleh Belanda secara menyeluruh karena kuatnya perlawanan rakyat. Nah, Jepang menghadapi hal sama.

Perlawanan terbuka terhadap Jepang pertama kali terjadi di Cot Plieng Bayu, Aceh Utara, pada 10 November 1942. Rakyat di bawah pimpinan ulama muda Teungku Abdul Djalil melawan Jepang demi membela Tanah Airnya dan Islam, agama yang dianut warga Aceh.

Saat itu, Jepang mewajibkan rakyat untuk melakukan seikerei, yakni penghormatan kepada kaisar Jepang dengan membungkuk ke arah timur pada pagi hari.

Teungku Abdul Djalil menentang hal tersebut karena umat Islam dilarang menyembah selain Allah. Ia kemudian mengumandangkan jihad fii sabilillah atau perang di jalan Allah melawan Jepang.

Jepang sempat berusaha membujuk Teungku Abdul Djalil untuk meredam perlawanan, tapi gagal.

Jepang kemudian menyerang rakyat pada pagi buta, ketika rakyat melaksanakan shalat subuh.

Rakyat pun berusaha menahan serangan dengan senjata seadanya. Rakyat berhasil memukul mundur pasukan Jepang ke Lhokseumawe. Jepang kemudian kembali menyerang. Rakyat lagi-lagi berhasil menggagalkan serangan tersebut.

Pada serangan ketiga, Jepang membakar masjid. Teungku Abdul Djalil saat itu berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Namun, ia akhirnya ditembak dan gugur dalam pertempuran itu pada 13 November 1942.

Untuk mengenang perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang yang dipimpin Abdul Djalil, dibangun Tugu Cot Plieng di Meunasah Beunot, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara.

Pertempuran Singaparna

Pertempuran Singaparna menjadi salah satu perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang. Perlawanan ini terjadi di sebuah pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1944. Perlawanan dipimpin KH Zainal Mustafa.

Zainal Mustafa melakukan perlawanan karena menolak ajaran seikerei, yakni penghormatan kepada kaisar Jepang dengan membungkuk ke arah timur pada pagi hari, yang tak sesuai ajaran agamanya.

Zainal Mustafa juga tidak tahan melihat penderitaan rakyat yang dipaksa bekerja. Jepang pun menempatkan pasukan rahasia untuk mengawasi Zainal Mustafa dan pesantrennya. Di sisi lain, Zainal Mustafa juga menyiapkan perlawanan dengan membekali para santri dengan ilmu bela diri.

Saat utusan Jepang datang untuk menangkap Zainal Mustafa pada 24 Februari 1944, rakyat dan para santri melakukan perlawanan. Tentara Jepang akhirnya mundur ke Tasikmalaya. Keesokan harinya, 25 Februari 1944, Jepang menggunakan kekerasan untuk mengakhiri perlawanan.

Pertempuran sengit antara rakyat (santri) dan pasukan Jepang pun terjadi selepas shalat Jumat. Para santri akhirnya mundur karena kalah senjata.

Zainal Mustafa dan 72 orang lainnya ditangkap tentara Jepang. Mereka dibawa ke Tasikmalaya. Mereka lalu dibawa ke Jakarta untuk dihukum mati.

Topik Menarik