Jangan Lengah dengan Laju Pertumbuhan Triwulan III-2022
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang kuatnya permintaan domestik, serta kinerja investasi dan ekspor.
Belanja pemerintah harus dipacu untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi di triwulan IV-2022.
JAKARTA - Semua pihak diingatkan agar tidak lengah dan tetap waspada dengan ancaman ketidakpastian global, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 melaju 5,72 persen.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Edy Priyono, di Jakarta, Selasa (8/11), mengatakan dampak ketidakpastian global seperti resesi ekonomi, inflasi, dan pengetatan kebijakan moneter masih membayangi Indonesia dan dapat memberikan dampak negatif.
"Kita harus bersyukur, ekonomi kita di kuartal tiga melaju kencang. Tapi, capaian itu jangan membuat lengah. Kewaspadaan terhadap potensi ancaman resesi masih harus dijaga," kata Edy di Kompleks Istana Kepresidenan seperti dikutip dari Antara .
KSP, papar Edy, akan memastikan pemerintah bersama otoritas terkait di sektor keuangan terus bekerja keras dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Kerja keras itu dilakukan dengan melaksanakan bauran kebijakan untuk mengendalikan inflasi, meningkatkan investasi, dan mendorong pertumbuhan ekspor.
"Pemerintah juga menganggarkan beragam insentif dan bansos untuk membantu industri dan masyarakat yang terdampak," ujar Edy.
Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (7/11), mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2022 tumbuh pesat hingga 5,72 persen, atau naik dari kuartal II yang sebesar 5,45 persen. Pencapaian tersebut melebihi pertumbuhan ekonomi negara-negara, lain seperti Tiongkok sebesar 3,9 persen, Amerika Serikat (AS) 1,8 persen, Jerman 1,2 persen, Uni Eropa 2,1 persen, dan Korea Selatan 3,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu ditopang kuatnya permintaan domestik, serta tingginya kinerja investasi dan ekspor. Adapun konsumsi rumah tangga tumbuh 5,39 persen, investasi 4,9 persen, dan ekspor tumbuh 21,64 persen.
Lebih Peka
Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, yang diminta pendapatnya berharap agar pemerintah khususnya kementerian/lembaga agar lebih peka terhadap ancaman krisis. Dia juga menyoroti masih rendahnya realisasi belanja pemerintah pada tahun ini, padahal kalau dioptimalkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi terlebih di triwulan keempat.
Sektor penggerak ekonomi yang diharapkan saat ini adalah pengeluaran pemerintah. Sebab itu, pengelolaan fiskal harus efektif menggerakkan perekonomian dengan realokasi anggaran ke pengeluaran yang menggerakkan konsumsi dan investasi.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2022 bakal melambat, maka yang bisa menopangnya ialah belanja pemerintah agar pertumbuhan tidak terkoreksi sangat dalam.
"Sisa anggaran yang tidak digunakan harus segera digunakan untuk mendorong perekonomian. Tetapi, kalau melihat rendahnya serapan kementerian/ lembaga belum memiliki sense of crisis -nya," tegas Suhartoko.
Data Indef menunjukkan, realisasi APBN untuk belanja barang dan jasa hingga September 2022 turun dibanding 2021. Realisasi konsumsi pemerintah hingga September 2022 sangat rendah yakni 61,61 persen atau lebih rendah dari September 2021 yang sebesar 65,7 persen.
"Potensi ancaman resesi masih ada, suka tidak suka dalam situasi ekonomi global saat ini, Indonesia akan terkena dampak yaitu stagflasi," kata Suhartoko.
Pada kesempatan terpisah, Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan sangat penting untuk meyakinkan pasar bahwa Indonesia bisa terus tancap gas di tengah ancaman inflasi dan naiknya bunga bank. Di situasi pertumbuhan yang kuat, perlu terus tambahan psikologi pasar agar investasi terus berjalan.
"Dengan psikologi yang baik, yang mau buka warung, mau buka kos-kosan, tidak ragu-ragu. Investasi kecil-kecil di range 1-2 miliar rupiah ini tidak ikut takut dengan kabar-kabar resesi dunia," papar Aditya.
Di sisi lain, pemerintah harus benar-benar fokus untuk memperhatikan sektor-sektor yang saat ini mulai terpuruk seiring dengan lemahnya permintaan dunia. Pabrik tekstil di Yogyakarta, misalnya, sudah mulai mengurangi jam kerja karyawannya karena adanya pembatalan kontrak dan ketidakjelasan kontrak untuk tahun depan.