Enggak Hanya di Jakarta Lubang Buaya Juga Ada di Banyuwangi, Lokasi Pembantaian Koban PKI
Peristiwa pembantaian yang diduga dilakukan oleh pengikut PKI pernah terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Peristiwa itu terjadi tepatnya pada 18 Oktober 1965.
Sebanyak 62 orang dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kecamatan Muncar dimakamkan di Lubang Buaya Cemetuk.
Untuk mengenang peristiwa itu, dibangun Lubang Buaya Cemetuk yang juga dikenal Monumen Garuda Jaya. Lokasi berada di Dusun Cemetuk RT 03 RW 03, Cluring, Banyuwangi.
Berdiri di lahan sekitar 500 meter persegi, Lubang Buaya Cemetuk terdapat puluhan pemuda Ansor Kecamatan Muncar disemayamkan di tiga (3) lubang. Satu lubang besar ukuran sekitar 2x7 meter menampung 42 jenazah.
Sementara dua lubang lainnya, ukuran sekitar 2x3 meter masing-masing berisi 10 jasad, sehingga berjumlah 62 orang.
"Monumen Lubang Buaya itu dibangun di atas tanah milik mbah saya, Wono Karyo. Tapi sudah diwakafkan ke desa oleh mbah Jami cucu dari mbah Wono," ujar Suyoto cucu dari Wono Karyo dengan Rasinem di rumahnya, Rabu (28/9/2022).
Suyoto alias Pak Otok menceritakan, saat kejadian dirinya masih berusia remaja, sekitar 14 atau 15 tahun. Awalnya, peristiwa yang menelan korban sebanyak 62 orang itu dari sebuah perkelahian yang terjadi di Dusun Karangasem, saat ini masuk wilayah Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran.
Waktu itu, ada sebuah perkelahian antara puluhan warga Muncar yang tergabung dalam GP Ansor di bilangan Dusun Karangasem, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran. Sebagian anggota Ansor yang melarikan diri, tertangkap dan dibunuh di wilayah Dusun Cemetuk.
Dulunya, di Lubang Buaya Cemetuk hanya cekungan tanah yang dijadikan tempat untuk membuang sampah. Namun, dari kejadian itu korban yang tewas diletakkan begitu saja di tempat itu.
"Di lokasi monumen juga ada makam mbah Wono Karyo dan mbah Rasinem serta cucunya. Makam itu sudah ada sebelum peristiwa pertumpahan darah," katanya bercerita.
Markas PKI Tekek Meleng di Karangasem
Ketua RT 03 RW 03 Dusun Cemetuk, Wiwit Wijiantoro (61) menambahkan, saat mendatangi markas PKI di Dusun Karangasem dengan tokohnya yang dikenal Tekek Meleng, anggota GP Ansor Muncar saat itu diperkirakan jumlahnya lebih dari 62 orang.
Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, pada Sabtu, 18 Oktober 1965, di Karangasem ada sebuah pertemuan bagi pengikut Partai Komunis Indonesia di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Mendengar hal itu, puluhan anggota Ansor Muncar berangkat beramai-ramai, menggunakan kendaraan bak terbuka.
Menurut cerita, mereka membawa senjata mulai pedang, celurit, parang, dan beberapa senjata tajam yang populer di masa itu. Hingga, terjadilah peristiwa pertumpahan darah dan mengakibatkan puluhan orang meregang nyawa.
Perkelahian antara GP Ansor dengan pengikut PKI itu, terjadi sekitar waktu sore hingga malam hari di kawasan Dusun Karangasem hingga di Dusun Cemetuk sendiri.
"Kemungkinan besar, orang yang dari Ansor Muncar mungkin kalah jumlah dan senjata. Sedangkan orang Karangasem mungkin persiapan senjatanya komplit karena ada di markasnya, saat terjadi perkelahian," kata Wiji.
Karena kalah jumlah itu, sebagian dari rombongan anggota Ansor Muncar berniat menyelamatkan diri sampai lari ke arah timur, yakni ke Dusun Cemetuk. Mereka yang berhasil kabur dari perkelahian di Dusun Karangasem akhirnya juga dibunuh oleh algojo dan anggota PKI setempat.
"Ada yang mati di sawah, di sungai, di kebun. Tidak tahu kenapa dibawa ke sini. Di sini dulu hanya lubang biasa ada satu. Mungkin karena terlalu banyak jadi ditambah dua lubang lagi," ujarnya yang berasal dari Desa Yosomulyo.
Korban-korban yang dibunuh waktu itu, tidak terjadi sekaligus, tapi masih dalam satu hari itu. Datangnya jasad-jasad korban dalam pertumpahan darah itu juga terbagi-bagi, ada yang 5, 3, 2 dan seterusnya lalu dibawa ke lokasi.
Sampai sekarang tidak ada warga yang mengetahui nama-nama atau identitas korban yang berjumlah 62 orang tersebut. Termasuk dari pihak keluarga tidak ada yang mencari ataupun menelusuri, sebutnya.
Dari depan Lubang Buaya Cemetuk terlihat patung Garuda yang membentang di tengah-tengah bangunan. Disusul dua patung Minak Jinggo yang dibubuhi tulisan aksara Jawa.
Setelah itu, baru terlihat tiga lubang. Satu lubang di depan lebih besar dari dua lainnya. Selain itu di beberapa sudut terdapat reliefyang menggambarkan kejadian di waktu itu.
"Monumen itu diperbarui sekitar tahun 1997, untuk bulannya saya tidak ingat, waktu itu juga tidak diberi keterangan waktu," ujar bapak yang menjadi warga Cemetuk sejak 1980-an itu.
Biasanya, kata dia, di Monumen Garuda Jaya akan ramai dikunjungi sejak tanggal 29 September sampai 1 Oktober yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Mulai dari kalangan siswa hingga mahasiswa dan masyarakat.
"Kalau dari Ansor dari NU tiap tahun ke sini. Yang sering ke sini juga ada anak TK, SD sampai kadang dari kampus-kampus dan masyarakat umum," ujarnya.
Sementara, salah satu pengunjung Yanti dari Jakarta Timur datang ke Monumen Lubang Buaya Cemetuk. Ia mengajak suami, anak dan cucunya.
"Ya kita pengen tahu aja ada Monumen Pancasila di sini, kan cuma ada dua ya, 1 di Banyuwangi satu di Jakarta. Kalau di sana kan besar ya," kata Yanti didampingi suaminya.
Memilih Pemimpin, Belajar dari Pancaniti
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Lets join Z Creators dengan klik di sini .