Mengenal 5 Pahlawan Nasional asal Tatar Sunda Jawa Barat
JAKARTA - Jawa Barat , yang juga disebut Tatar Sunda bersama dengan Provinsi Banten, banyak melahirkan pahlawan nasional . Jasa yang disumbangkan tokoh-tokoh Sunda mulai dari pemikiran hingga perlawanan melawan penjajah.
Gelar pahlawan nasional diberikan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Berikut 5 pahlawan nasional asal Jawa Barat, daerah yang menjadi jantung budaya Sunda:
1. Otto Iskandar Dinata
Raden Otto Iskandar Dinata atau yang lebih dikenal Otto Iskandar Dinata merupakan pahlawan nasional yang dijuluki Si Jalak Harupat. Pria kelahiran Bojongsoang pada 31 Maret 1987 ini adalah anak bungsu pasangan Raden Haji Adam Rahmat dan Siti Hidayah. Otto menempuh pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung. Kemudian dia melanjutkan sekolah ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung. Setamatnya dari Kweekschool Onderbouw, Otto memilih Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah untuk melanjutkan studinya.
Otto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924. Kemudian, pada 1924, dia menjabat Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan. Otto juga aktif dalam organisasi Paguyuban Sunda. Dia pernah menjadi anggota Volksraad (semacam DPR) pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941. Sedangkan pada 1942-1945, Otto menjadi Pemimpin Surat Kabar Tjahaja.
Otto memiliki andil dalam perumusan kemerdekaan dengan bergabung menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Sewaktu kabinet pertama Republik Indonesia terbentuk pada 1945, Otto menjabat sebagai Menteri Negara. Atas jasanya, Otto diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
2. KH Zainal Mustafa
KH Zainal Mustafa merupakan salah satu pahlawan nasional dari Jawa Barat. Pria kelahiran Tasikmalaya, 1 Januari 1899 ini anak pasangan petani. Hudaeni merupakan nama kecilnya, kemudian berganti menjadi Zainal Mustafa setelah menunaikan ibadah haji.
Pendidikan formalnya ditempuh di Sekolah Rakyat. Sedangkan untuk pendidikan agama, Zainal belajar dari gurunya di kampung. Ketika menunaikan ibadah haji, dia berkenalan dengan ulama terkemuka untuk tukar pendapat. Setelah dari Tanah Suci, dia mendirikan pesantren Sukamanah di Kampung Cikembang. Kegiatannya pun tak terlepas dari syiar dan ceramah agama.
Zainal Mustafa adalah salah satu pihak yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda maupun Jepang. Tak jarang dia mendapat peringatan keras dari pihak Belanda maupun Jepang. Dia bersama tiga ulama lainnya ditangkap pihak Belanda lantaran dituduh mempengaruhi pikiran rakyat dengan ideologi pribadi. Pada 6 November 1972, KH Zainal Mustafa diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.
3. Djuanda Kartawijaya
Ir H. Djuanda Kartawijaya lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Dia merupakan anak pertama dari pasangan Raden Kartawijaya dan Nyi Monat. Sang ayah adalah seorang mantri guru di Hollandsch Inlansdsch School (HIS).
Djuanda menyelesaikan sekolah dasarnya di HIS. Kemudian pada 1929, dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoend (THS) yang merupakan sekolah teknik di Bandung dengan mengambil jurusan Teknik Sipil. Pada masa muda, Djuanda telah aktif mengikuti organisasi nonpolitik, yaitu Muhammadiyah dan Paguyuban Sunda. Dia juga sempat menjadi pemimpin sekolah Muhammadiyah.
Djuanda pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-10 sekaligus sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I. Salah satu jasa yang diberikan Djuanda untuk Indonesia adalah Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda yang dibentuk pada 13 Desember 1957 ini menjelaskan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda kemudian diresmikan menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Atas jasanya, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawijaya dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
4. Dewi Sartika
Pidato Perdana Presiden Prabowo Subianto: Indonesia Harus Swasembada Pangan dalam Waktu Singkat
Raden Dewi Sartika atau yang lebih dikenal Dewi Sartika merupakan pahlawan nasional yang turut memperjuangkan emansipasi wanita. Perempuan kelahiran Cicalengka, 4 Desember 1884 ini berasal dari keluarga priyayi. Sejak kecil dia sudah menunjukkan ketertarikannya pada dunia pendidikan.
Pada 16 Januari 1904, dia mendirikan sekolah. Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah untuk kaum perempuan yang bernama Sekolah Isteri. Ketika didirikan, sekolah ini hanya mempunyai 20 murid dan tiga orang guru. Sekolah Isteri merupakan sekolah khusus perempuan. Hal ini sesuai dengan cita-cita Dewi Sartika yang ingin mendidik anak perempuan dari berbagai kalangan. Tujuannya, untuk memajukan harkat dan martabat para perempuan.
Mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah Isteri adalah menyuci, menyetrika, menjahit, mencuci, menyulam serta membatik. Sesuai SK Presiden RI Nomor 152 Tahun 1966, Dewi Sartika mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 1 Desember 1966.
5. Raden Eddy Martadinata
Raden Eddy Martadinata atau populer disebut RE Martadinata merupakan seorang laksamana dan diplomat Angkatan Laut. Pria kelahiran lahir di Bandung, 29 Maret 1921 ini mengawali pendidikannya di HIS pada 1934. Ia lalu melanjutkan sekolah di MULO Bandung pada 1938.
Giring Ganesha Tiba di Istana Jelang Pengumuman Menteri Prabowo-Gibran: Jadi Wakil Menteri
Martadinata memang telah bercita-cita menjadi pelaut sejak kecil. Untuk mewujudkan impiannya, dia masuk pendidikan Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta. Sebagai lulusan berprestasi, Martadinata diangkat menjadi guru tetap di STP Jakarta. Keinginannya menjadi seorang pelaut terus menyala, sehingga ketika mendapat kepercayaan menjadi Nahkoda Kapal Latih Dai 28 Sakura Maru, ia langsung mengiyakan. Atas keputusannya, Martadinata akhirnya terpaksa berhenti menjadi guru.
Martadinata ikut berperan dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Pusat pada 10 September 1945. Ia ditunjuk sebagai pimpinan BKR-Laut Banten. Atas jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RE Martadinata berdasarkan Surat Keputusan RI No 106/TK/1975.
Sumber* Diolah dari berbagai sumber