Kisah Jenderal GPH Djatikusumo: Pangeran Jawa Mirip dengan Panglima Perang Islam Khalid Bin Walid dan Tariq Bin Ziad
Jenderal Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo bukan sekadar figur militer dalam sejarah TNI Angkatan Darat (AD). Ia adalah seorang Pangeran Jawa yang menunjukkan kepemimpinan dan keberanian.
Sosoknya dinilai mirip dengan Panglima Perang Islam seperti Khalid Bin Walid dan Tariq Bin Ziad oleh tokoh militer Indonesia dan mantan KSAD, Jenderal TNI AH Nasution.
Jenderal Djatikusumo memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan ketulusan dan pengabdian tanpa pamrih.
Djatikusumo adalah putra Raja Solo, Sri Susuhan Paku Buwono X dengan istrinya, RA Kinorukasi. Dia lahir pada 1 Juli 1917 dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Subandono.
Ia sejak dini diperkenalkan pada kehidupan bangsawan dan pendidikan modern. Ia belajar di Euro Peesche Lagere School (ELS) Bandung sebelum melanjutkan ke Technische Hoge School (THS) Nederland.
Namun, keadaan memaksanya kembali ke Indonesia ketika Perang Dunia II meletus. Setelah melanjutkan pendidikan di THS Bandung (kini ITB), perang kembali memaksa ia berhenti di tingkat empat.
Senam Diiringi Musik DJ di Halaman Masjid Agung Kolut Tuai Sorotan, Ketua Korpri Minta Maaf
Tidak menyerah, Djatikusumo bergabung dengan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) dan kemudian menjadi anggota PETA angkatan pertama di Bogor.
Berkarier di Militer
Karier militernya dimulai sebagai Komandan Kompi I Batalyon I Surakarta dan terus menanjak. Pada masa pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), ia diangkat sebagai Komandan BKR Solo berpangkat Mayor.Djatikusumo memainkan peran penting dalam pertempuran di Semarang dan berhasil melucuti senjata Jepang.
Di kalangan TNI, Djatikusumo dikenal sebagai pemimpin yang loyal dan penuh strategi. Ia memimpin Divisi IV di Salatiga dan Divisi V Ronggolawe setelah reorganisasi TNI.
Pada Februari 1948, ia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dengan markas di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Jabatan ini hanya ia emban selama satu tahun sebelum diserahkan kepada Kolonel A.H. Nasution.
Dibandingkan dengan Panglima Perang Islam
Jenderal TNI A.H. Nasution menggambarkan Djatikusumo sebagai sosok yang mengingatkan pada Panglima Perang Islam Khalid Bin Walid dan Tariq Bin Ziad.Ketiganya dikenal sebagai pemimpin yang berjuang semata-mata untuk Allah SWT. Djatikusumo dianggap sebagai prajurit sejati, pekerja keras, dan pemimpin tanpa ambisi pribadi.
Setelah pensiun dari dunia militer, Djatikusumo menjabat berbagai posisi penting, termasuk Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata.
Ia memajukan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, serta membangun sejumlah hotel bintang lima. Djatikusumo juga menjadi duta besar di berbagai negara, seperti Malaysia, Maroko, Prancis, dan Spanyol.
Djatikusumo wafat pada 4 Juli 1992 dan dimakamkan di Makam Raja di Imogiri, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi 17 penghargaan, termasuk dari Vatikan. Pada 1997, ia menerima pangkat Jenderal Kehormatan, dan pada 2002, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI.
Sosoknya tetap menjadi teladan bagi generasi penerus, seorang pemimpin yang tidak hanya tangguh di medan perang tetapi juga berdedikasi tinggi dalam membangun bangsa.