Kisah Cinta Jenderal Wismoyo Arismunandar Diselamatkan Soeharto dari Rasa Malu saat Lamar Adik Ibu Tien

Kisah Cinta Jenderal Wismoyo Arismunandar Diselamatkan Soeharto dari Rasa Malu saat Lamar Adik Ibu Tien

Infografis | sindonews | Selasa, 13 Agustus 2024 - 07:17
share

Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar seorang tokoh militer terkemuka yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden Soeharto, terutama sejak peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada tahun 1974.

Kedekatan ini membawa Wismoyo masuk ke dalam lingkaran keluarga Cendana. Peristiwa Malari adalah demonstrasi mahasiswa yang berubah menjadi kerusuhan sosial ketika Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei mengunjungi Jakarta pada 14-17 Januari 1974.

Demonstrasi ini, yang diwarnai dengan penghancuran merek mobil Jepang, dipicu oleh sejumlah tuntutan mahasiswa, termasuk penolakan terhadap penanaman modal asing, pemberantasan korupsi, dan penghapusan Asisten Penasehat Pribadi Presiden Soeharto.

Baca Juga: Kisah Jenderal Ryamizard Ryacudu Taklukkan Cinta Putri sang Panglima di Tengah Medan Perang

Pada saat itu, Jenderal Wismoyo Arismunandar yang menjabat sebagai Asisten Pengamanan Kopassandha (Kopassus) mendapat tugas untuk menyampaikan pesan dari komandannya kepada Presiden Soeharto.

Meski baru berpangkat Mayor, Wismoyo dengan rasa gugup menemui Soeharto di kediamannya. “Ono opo (ada apa),” tanya Soeharto yang kala itu hanya mengenakan sarung dan kaus oblong, seperti yang dikisahkan dalam bukuPak Harto The Untold Stories(2012).

Wismoyo kemudian menyampaikan bahwa Kopassandha akan tetap setia kepada Presiden Soeharto. Namun, Soeharto menanggapinya dengan sebuah pertanyaan tak terduga, “Setia iku opo (setia itu apa)?”.

Pertanyaan ini membuat Wismoyo semakin bingung, tetapi Presiden Soeharto segera mencairkan suasana dengan menjelaskan bahwa setia berarti teguh dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama.

Baca Juga: Kisah Legenda Kopassus Nyaris Tembak Jenderal LB Moerdani Gegara Rencana Penculikan KSAD

Dari pertemuan tersebut, hubungan mereka semakin erat, terutama setelah Wismoyo jatuh hati pada Datit Siti Hardjanti, adik kandung Ibu Tien Soeharto. Namun, ada kisah menarik ketika Wismoyo melamar Datit.

Meski telah menjalani hubungan asmara, Wismoyo belum pernah bertemu langsung dengan calon mertuanya. Akhirnya, ia harus melamar langsung kepada Soeharto dan Ibu Tien. Wismoyo yang grogi berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Ia bahkan terus-menerus mengelap sepatunya hingga berkilau, menunjukkan betapa pentingnya momen itu baginya. Dengan tekad yang bulat, Wismoyo pergi sendirian ke kediaman Soeharto untuk melamar kekasihnya.

Setibanya di sana, Wismoyo bingung melihat banyak sandal dan sepatu di dekat tangga menuju ruang pertemuan. Ia ragu apakah harus melepas sepatunya atau tidak. Namun, ia memutuskan tetap mengenakannya dan memasuki ruangan di mana Soeharto dan Ibu Tien sudah menunggu.

Baca Juga: Asal Mula Boso Walikan Malang, Kode Rahasia Pejuang Pengecoh Spionase Belanda

Setelah masuk, Wismoyo sadar bahwa hanya dia yang mengenakan sepatu, membuatnya semakin gugup. Ibu Tien, yang memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah, membuat Wismoyo semakin salah tingkah.

“Wong lanang kok ingah-ingih (lelaki kok tersipu-sipu),” kata Ibu Tien, disambut dengan senyuman khas Soeharto. Merasa semakin terpojok, Wismoyo hanya bisa menunduk.

Namun, Soeharto segera meredakan ketegangan dengan berkata, “Aku mbiyen yo ingah-ingih,” mengingat saat ia dulu melamar Ibu Tien. Kata-kata ini membuat suasana kembali santai, dan Wismoyo pun berhasil mengutarakan niatnya untuk melamar Datit Siti Hardjanti.

Lamaran itu diterima, dan Wismoyo serta Datit kemudian menikah dan membangun rumah tangga yang harmonis. Pengalaman tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi Wismoyo.

Baca Juga: Kebengisan Pasukan Khusus Marsose Belanda, Bunuh Pejuang Kemerdekaan dengan Senyap

Sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) periode 1993-1995, Wismoyo belajar dari Soeharto bahwa seorang pemimpin harus berani menyelamatkan bawahannya demi tujuan yang baik.

Selain itu, Wismoyo juga mengagumi keberanian Soeharto dalam mengambil keputusan cepat, seperti saat menangani pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Soeharto, saat menjawab pertanyaan Wismoyo tentang pemberontakan PKI, dengan tegas mengatakan:

Saya ini tentara. Tentara itu pedoman hidupnya Saptamarga. Kami patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah. Melihat pemberontak yang komunis sedangkan ideologi negara adalah Pancasila, ya saya harus melawan. Kalau kalah saya akan memberontak.”

Topik Menarik