Mahathir Mohamad Ragu Israel Patuhi Gencatan Senjata Gaza: Resolusi PBB saja Dilanggar!
KUALA LUMPUR, iNews.id - Politikus senior Malaysia Mahathir Mohamad ragu Israel akan mematuhi kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Israel dan Hamas menyepakai gencatan senjata tiga tahap yang mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025).
Menurut mantan Perdana Menteri Malaysia itu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, Israel sering mengabaikan hukum internasional maupun PBB. Selain itu Israel menunjukkan sikap tidak hormat terhadap opini dunia serta gagal mematuhi perjanjian gencatan senjata sebelumnya, termasuk dengan Hizbullah.
"Apakah ada yang percaya bahwa negara yang melanggar banyak resolusi PBB dan tidak menghormati opini dunia akan menepati janjinya kali ini?" kata Mahathir, dalam posting-an di media sosial.
Mahathir menjelaskan, Israel merupakan negara konfrontatif. Sifat itu membuatnya sulit untuk menghormati perjanjian atau hukum apa pun.
"Sebelum gencatan senjata (berlaku efektif), mereka meningkatkan serangan dengan membunuh sebanyak mungkin warga Palestina. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk terus membunuh secaa luas," ujarnya.
Dia melanjutkan, suasana kegembiraan yang ditunjukkan oleh warga Gaza terkait kesepakatan itu terlalu dini.
"Maafkan saya jika saya pesimis, tapi kegembiraan warga Gaza terlalu dini dan saya harap saya salah," ujarnya.
Israel telah membunuh sedikitnya 117 warga Gaza sejak kesepakatan gencatan senjata diumumkan pada Rabu (15/1/2025) hingga Sabtu pagi. Militer Zionis meningkatkan serangan udara di seluruh wilayah Gaza, utara, tengah, maupun selatan.
Korban tewas terbanyak berada di Gaza Utara, di mana rumah-rumah yang dihuni keluarga besar dibombardir. Hampir setengah dari korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Kabinet Israel pada Sabtu dini hari menyetujui kesepakatan gencatan senjata tahap pertama dengan Hamas selama 42 hari atau 6 pekan, termasuk pertukaran tahanan.
Portal berita Amerika Serikat (AS) Axios, mengutip anggota kabinet Israel, melaporkan 24 menteri mendukung gencatan senjata, sementara 8 menteri menentang.