MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Pakar Kepemiluan: Ini Kemenangan Rakyat!

MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Pakar Kepemiluan: Ini Kemenangan Rakyat!

Terkini | inews | Kamis, 2 Januari 2025 - 17:40
share

JAKARTA, iNews.id - Pakar kepemiluan Titi Anggraini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Dia menyebut putusan ini merupakan kemenangan bagi rakyat Indonesia.

"Ini kemenangan rakyat Indonesia, 36 permohonan menandakan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bermasalah, bertentangan dengan moralitas politik kita, rasionalitas konstitusi dan juga mengandung ketidakadilan yang intolerable," kata Titi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Dia pun bersyukur atas putusan tersebut. Dia mengatakan putusan ini harus dirayakan seluruh rakyat Indonesia.

"Kami ikut senang, dan bagi kami ini harus dirayakan oleh semua rakyat Indonesia dan ini menjadi kabar gembira di awal tahun," tutur dia.

Dia pun berharap partai politik (parpol) bisa berbenah untuk menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk Pilpres 2029.

"Jadi ini luar biasa ya, 2029 pilpres kita akan lebih inklusif, masyarakat akan lebih punya banyak pilihan, mudah-mudahan polarisasi tidak akan terjadi karena ruang untuk kontestasi sudah dibuka lebar oleh Mahkamah Konstitusi," tutur dia.

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan perkara nomor 62/PUU-XXI/2024. Permohonan ini diajukan mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Enika Maya Oktavia dkk.

MK menilai ambang batas pencalonan presiden 20 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Ketentuan itu juga dinilai melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang.

Topik Menarik