MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden 20, Dua Hakim Dissenting Opinion

MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden 20, Dua Hakim Dissenting Opinion

Terkini | inews | Kamis, 2 Januari 2025 - 16:19
share

JAKARTA, iNews.id - Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus ambang batas calon presiden atau presidential threshold 20 persen. Keduanya yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

"Terhadap putusan terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

Dia menyatakan dissenting opinion itu dianggap dibacakan. Namun, dalam pokoknya kedua hakim menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

"Pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga statusnya Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan," tutur Suhartoyo.

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta pilpres. Putusan dibacakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo.

Adapun norma yang diuji leh para pemohon adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Norma itu menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tutur dia.

"Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," sambungnya.

Diketahui, perkara nomor 62PUU-XXI/2023, diajukan oleh Enika Maya Oktavia. Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon juga menyatakan presidential threshold pada pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi.

Topik Menarik