Kabar Baik, BPOM Beri Izin Edar untuk Obat Kanker Etana
JAKARTA, iNews.id - Sebagai upaya memperpanjang angka harapan hidup pasien kanker di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan izin edar untuk dua produk baru terapi kanker yaitu Etapidi dan Brukinsa.
Kedua obat kanker tersebut merupakan obat inovatif yang dikembangkan PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) dan pengembang pengobatan onkologi BeiGene untuk perawatan terapi kanker, khususnya kanker paru dan kanker esofagus.
Lantas, apa spesifikasi kedua obat kanker tersebut? Berikut ulasan selengkapnya menurut laporan resmi BPOM, dikutip Minggu (15/12/2024):
Obat Etapidi
Etapidi mengandung zat aktif Tislelizumab yang merupakan antibodi varian IgG4 (humanized monoclonal antibody immunoglobulin subclass 4). Obat ini telah disetujui di Indonesia pada 26 November 2024 dengan nomor izin edar (NIE) DKI2468600149A1 dan dapat dijadikan sebagai alternatif tambahan untuk terapi non-small cell lung cancer dan esophageal squamous cell carcinoma (ESCC).
Miss Indonesia 2025, Waktunya Perempuan Yogyakarta Menunjukan Potensi Kecantikan Istimewamu!
Etapidi tersedia dalam bentuk larutan konsentrat untuk infus dengan kemasan vial (100 mg/vial).
Obat Brukinsa
Brukinsa mengandung zat aktif Zanubrutinib, yang merupakan jenis penghambat molekul kecil Bruton Tyrosine Kinase (BTK)-protein yang berperan penting dalam pertumbuhan dan pertahanan sel kanker.
Produk ini telah disetujui di Indonesia pada 20 September 2024 dengan NIE DKI2468000201A1 dan dapat dijadikan sebagai alternatif tambahan untuk terapi mantle cell lymphoma (MCL) dan Waldenstrom’s macroglobulinemia (WM).
Etapidi tersedia dalam bentuk sediaan kapsul dengan kandungan zat aktif Zanubrutinib 80 mg/kapsul.
"Kedua obat ini dikembangkan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat mengakses obat kanker yang berkualitas dan murah," kata Kepala BPOM Taruna Ikrar.
Lebih lanjut, disampaikan Presiden Direktur Etana Nathan Tirtana bahwa dengan kehadiran dua obat kanker ini diharapkan dapat menjadi pilihan obat inovatif yang berkualitas.
"Obat ini hadir atas dukungan banyak pihak, termasuk BPOM, Kementerian Kesehatan, asosiasi dokter-dokter kanker (Perhimpunan Onkologi Indonesia), yang berusaha menyediakan pengobatan terbaik untuk rakyat Indonesia," kata Nathan.
Sementara itu, Dita Novianti Sugandi Argadiredja, Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan menyatakan, Indonesia mengalami keterbatasan akses pada obat inovatif, hanya 9 persen (45 obat) dari 460 obat inovatif yang sudah di-approve dan ada di Indonesia.
"Padahal, 10 juta kematian di Indonesia itu disebabkan oleh kanker. Jadi, jika bicara soal obat kanker, dua obat ini tentu memperluas akses masyarakat terhadap obat kanker yang harganya terjangkau," ungkap Dita.